ads

Bercerita Tentang Hilangnya Jati Diri, Film Ini Ajak Perempuan untuk Memberi pada Diri Sendiri

Novita Sari - Kamis, 24 Juli 2025
Konferensi pers dan special screening A Normal Woman di Plaza Senayan XXI, Jakarta, bersama para pemeran dan kreator film pada Rabu, 23 Juli 2025. Foto: Ist
Konferensi pers dan special screening A Normal Woman di Plaza Senayan XXI, Jakarta, bersama para pemeran dan kreator film pada Rabu, 23 Juli 2025. Foto: Ist
A A A

Bersama para pemeran dan kreator filmnya, Netflix menggelar acara Konferensi Pers dan Special Screening A Normal Woman di Plaza Senayan XXI, Jakarta, Rabu, 23 Juli 2025. Film dari sutradara Lucky Kuswandi ini mulai tayang Kamis, 24 Juli 2025. 

Ditulis oleh Lucky Kuswandi bersama Andri Cung, film ini mengikuti kisah seorang sosialita bernama Milla (diperankan Marissa Anita) yang yakin ia terkena penyakit tak dikenal. 

Saat kondisi tersebut mulai membuat hidupnya kacau, Milla harus mengungkap misteri di balik penyakit itu sebelum semuanya terlambat. 

Dalam konferensi pers, Lucky berbagi cerita mengenai gagasannya menciptakan A Normal Woman, yang menghadirkan topik menyentuh tentang menemukan jati diri hingga menghadapi tuntutan masyarakat terhadap perempuan.

“Ide awalnya adalah ketertarikan saya untuk mempelajari yang disebut healing, yang saya lihat sebagai self-retrieval atau mengambil kembali bagian-bagian yang hilang atau terhapus,” ujar Lucky. 

“Kita semua pasti pernah ada di titik sebagian dari diri kita terhapus karena kita harus menjalankan sebuah atau berbagai peran, dan kita tidak menyadari bahwa ini tidaklah normal. Di saat ini yang paling cerdas adalah tubuh kita, yang kemudian memberi alarm bahwa sepertinya ada yang tidak normal dengan cara kita menjalani hidup, yang muncul dalam berbagai bentuk,” tambah Lucky.

Andri Cung menambahkan, “Berawal dari percakapan dan observasi kami selama ini dalam menjalani kehidupan serta melihat masyarakat, kami berpikir bahwa kita sedang hidup di masyarakat dan dunia yang tidak baik-baik saja. Misalnya begitu banyak hal yang dianggap normal atau ada begitu banyak tuntutan untuk menampilkan diri sendiri maupun membuat orang lain terkesan, yang lalu membuat kita melupakan diri sendiri. Namun di film ini kami tidak ingin mengantagonisasi siapa pun, karena semua orang punya alasan dan menghadapi tekanan tertentu, sehingga semua tindakan memiliki akarnya masing-masing.”

Memainkan peran utama sebagai Milla, Marissa Anita menyampaikan apa yang dipelajarinya setelah terlibat di film ini. “Setelah menjalani dan hidup bersama Milla sebelum dan selama syuting, dia mengajarkan saya tentang pentingnya autentisitas,” papar Marissa. 

“Di zaman sekarang perempuan menjalani banyak sekali peran, baik sebagai istri, ibu, anak yang mengurus orang tua atau mertua, serta menjalani karier. Hidup Milla selalu didedikasikan kepada orang lain, dan itu tidak apa jika datang dari tempat yang ajeg. Memberi diri kita ke orang lain tapi juga memberi ke diri sendiri adalah yang paling ideal,” ungkap Marissa.

“Yang saya pelajari dari kisah Milla adalah dalam hidup jangan lupa untuk memberi ke diri sendiri supaya bisa terus penuh memberi ke orang lain. Seperti pohon yang berakar dengan sangat kuat, sehingga ketika kita harus menghadapi hidup yang banyak naik turunnya kita akan tetap mengakar dan bisa terus memberi,” sebut Marissa.

Marissa juga menceritakan bahwa ia membentuk karakter Milla dari diskusi dengan Lucky, yang meliputi membaca buku The Myth of Normal karya Gabor Maté dan Daniel Maté, serta pengalaman hidupnya sendiri. 

“Semua manusia punya pengalaman yang kurang lebih serupa dengan yang dirasakan Milla, yaitu menjadi people pleaser, hanya saja dalam kasus Milla ini dikali 100 atau 1000. Selama ini Milla tidak diterima apa adanya, dia harus membentuk dirinya untuk dicintai orang lain,” terang Marissa.

Film ini turut menampilkan deretan aktor seperti Dion Wiyoko, Gisella Anastasia, Widyawati, Mima Shafa, dan Maya Hasan. Mereka berbagi cerita mengenai masing-masing karakter yang diperankan dan apa yang dipetik dari pengalaman tersebut. 

“Di sini semua karakter dibentuk dengan masuk akal,” terang Gisella. ”Kalau terkesan jahat, pasti mereka punya alasannya. Tidak gampang juga memainkan peran Erika yang ada di ranah abu-abu. Untuk saya yang belajar dengan cukup keras di kehidupan asli, saya jadi belajar tidak menghakimi Erika yang pasti melalui kehidupan yang keras dan menginginkan hal-hal tertentu. Terutama karena saya dibantu oleh tim yang luar biasa dari awal reading, untuk mengulik lapisan demi lapisan karakter sehingga kami bisa memahaminya dengan sungguh-sungguh,” ucap Gisella.

Bagi Widyawati yang memerankan ibu mertua dari Milla, Liliana adalah sosok ibu yang dominan. “Sang anak benar-benar taat dan takut karena dia harus mematuhi apa kata ibunya, sementara belum tentu semua ibu atau apa yang dia lakukan benar. Liliana menciptakan jarak dengan menantunya. Sementara bagi saya pribadi dalam pernikahan itu dua keluarga menjadi satu kesatuan, dan menantu saya anggap anak sendiri. Masalah dia adalah masalah bersama, harus bisa kami selesaikan bersama,” ujarnya. 

Mima menambahkan ia beranggapan bahwa sebuah keluarga adalah fondasi bagi seorang anak. Ia mengutarakan, “Karakter Angel memang berusia muda tapi dia bisa memahami ibunya. Satu hal yang saya pelajari di sini dan saya lakukan juga di hidup nyata adalah kita harus memotong trauma lintasgenerasi di keluarga. Angel berani untuk melakukan itu dengan orang tuanya dan dia bisa membela dirinya sendiri.”

Sementara itu Maya Hasan yang berperan sebagai Novi atau ibu dari Milla beranggapan bahwa karakter tersebut merupakan versi ekstrem dari seorang ibu. “Seperti daftar what not to do untuk seorang ibu,” ujarnya. “Sehingga bagi saya Novi ini menjadi reminder bahwa anak itu bukan investasi, bukan untuk dieksploitasi, tapi anak adalah sebuah amanah. Novi bisa menjadi contoh cinta yang transaksional, sementara saya mengalami sendiri bahwa dalam keluarga anak dan orang tua sama-sama bertumbuh, dan di situlah unconditional love hidup,” kata Maya.

Dibalut atmosfer penuh ketegangan, drama, dan visual yang memikat, film ini menghadirkan pengalaman menonton yang menggugah emosi. Lewat karakter dan dinamika yang kompleks, film ini mengajak penonton menyelami sisi-sisi kehidupan yang dekat bagi banyak orang—dari ekspektasi rumah tangga yang ideal, tekanan sosial dan tuntutan reputasi, hingga pencarian jati diri dan luka masa lalu yang belum pulih.

Lucky mengutarakan, “Dalam berkarya, kami ingin dapat memberikan sesuatu yang dapat menciptakan conversation. Tidak semua penonton harus setuju pada apa yang kami tawarkan, tapi semoga ini menjadi bahan untuk lebih mempertanyakan bagaimana kita menjalani hidup saat ini.” 

Kids Zone
Zona di mana buah hati Anda dapat menikmati kisah-kisah seru dalam bentuk cerita dan komik, mengeksplorasi artikel pengetahuan yang menyenangkan, serta permainan yang menarik untuk mengasah pemikiran buah hati.
Masuk Kids Zone
Latest Update
Selengkapnya
img
Kuasai Pasar Konsumer Indonesia dari Bayi Hingga Rumah Tangga, Hermanto Tanoko Hadirkan Dua Gebrakan Baru
img
Universitas Ini Luncurkan 4 Program Studi Baru di Alam Sutera, Peluang Emas Cetak Talenta dan Karier Digital Anak Sejak Kuliah!
img
Roadshow IAPVC 2025 Hadir di Kota Bogor, Ikuti Lomba Foto dan Video Satwa Berhadiah Mobil Listrik
img
Rayakan Ulang Tahun ke-28, Supermarket Ini Gelar Event Keluarga Di Empat Kota