Dari Daun Kelor hingga Limbah Kelapa Sawit, Empat Perempuan Peneliti Ini Wujudkan Sains yang Berdampak Nyata
Moms, sebagai perempuan tentu kita sangat mendukung kesetaraan dalam segala bidang, termasuk di bidang sains. Nah, empat perempuan peneliti Indonesia ini semakin membuktikan bahwa sains tidak berhenti di laboratorium, dan bukan pula milik laki-laki semata! Keempatnya adalah penerima penghargaan internasional For Women in Science (FWIS) 2025, program yang telah 22 tahun hadir memberi ruang bagi ilmuwan perempuan untuk berkembang, berkolaborasi, dan membawa hasil riset mereka untuk berdampak nyata ke masyarakat.
Bagi Prof. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia, hasil yang diperoleh mereka lebih dari sekadar pencapaian. “Bukti ilmiah menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam sains dan matematis. Namun, kesenjangan masih terjadi, baik dalam kesempatan kerja, perbedaan gaji, maupun representasi di bidang STEM,” ujarnya saat membuka acara L’Oréal–UNESCO For Women in Science National Fellowship 2025 Award Ceremony di Jakarta (11/11).
Perempuan dan Ruang Setara di Dunia Sains
Lebih lanjut Prof. Stella mengutip data dari World Economic Forum 2024 yang menunjukkan di seluruh dunia, jumlah lulusan perempuan di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tak ada satu pun negara yang jumlah lulusan STEM perempuannya lebih banyak.
“Satu-satunya negara dengan jumlah lulusan STEM hampir seimbang (laki-laki dan perempuan) adalah Turki. Di Indonesia sendiri, terdapat kesenjangan sekitar 16,9% di mana perempuan sebanyak 12,39% sementara laki-laki 29,43%. Padahal, 56% mahasiswa di universitas di Indonesia adalah perempuan. Artinya, kesenjangan bukan terjadi karena kemampuan, melainkan masalahnya adalah bias dan stereotip,” pungkas wanita lulusan Harvard University ini.
Ia menyambut baik peningkatan partisipasi FWIS sebesar lebih dari 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yang didominasi oleh perempuan peneliti muda di bawah 40 tahun. “Peningkatan jumlah partisipasi perempuan dalam bidang sains bukan hanya persoalan kesetaraan, tetapi juga persoalan ekonomi. Karena, negara akan merugi jika tidak memanfaatkan potensi individu terbaik di bidangnya,” tegas Prof. Stella.
Menurutnya, perempuan di dunia penelitian perlu terus percaya diri, mengambil peluang, dan tidak takut menjadi diri sendiri. “Untuk dapat maju dan berkontribusi, perempuan perlu memiliki tiga hal penting: percaya diri dan berani mengambil kesempatan sebanyak mungkin, tidak mudah menyerah, serta melakukan apa yang mereka sukai dan menjadi diri sendiri!” tegasnya.
Ya, sudah sepatutnya perempuan peneliti tidak dipandang sebelah mata! Apalagi menurut laporan UNESCO tahun 2025, sebanyak 43,5 persen peneliti di Indonesia adalah perempuan. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, namun masih perlu dukungan berkelanjutan agar hasil riset mereka benar-benar membawa manfaat sosial dan ekonomi.
Empat Riset, Empat Dampak Nyata
Keempat pemenang menghadirkan penelitian yang berfokus pada solusi konkret dan inovatif untuk menjawab tantangan nyata di Indonesia, mulai dari bidang bioteknologi, kesehatan, dan keberlanjutan. Masing-masing mendapatkan total dukungan pendanaan riset senilai Rp400.000.000, dan kesempatan berjejaring dengan komunitas perempuan peneliti terbesar di dunia. Siapa saja mereka?
Dr. Maria Apriliani Gani dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan model kultur sel untuk meneliti efek tanaman obat yakni daun kelor dan jahe terhadap tulang. Inovasinya diharapkan mempercepat penemuan terapi osteoporosis tanpa menggunakan hewan uji, sekaligus memperkuat saintifikasi jamu Indonesia dan meningkatkan kualitas hidup perempuan lanjut usia. “Bahan alam Indonesia menyimpan kekuatan luar biasa, kini saatnya kita buktikan bahwa dari tanah kita sendiri lahir sains yang etnis, yang relevan dan juga bermanfaat,” tutur wanita berusia 26 tahun ini.
Sementara itu, Dr. rer. nat. Lutviasari Nuraini dari Pusat Riset Metalurgi BRIN mengembangkan material implan berbasis paduan magnesium–zink–neodymium (Mg–Zn–Nd) yang dapat terurai alami setelah tulang sembuh. Penambahan unsur neodymium membantu meningkatkan kekuatan dan mengatur kecepatan peluruhan implan agar tetap stabil selama pemulihan. Inovasi ini mendukung kemandirian produksi implan nasional dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia, serta diharapkan dapat diterapkan oleh industri kesehatan dalam waktu mendatang.
Anak Agung Dewi Megawati, Ph.D., Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa mengembangkan terapi berbasis mRNA inovatif yang dirancang sebagai antivirus bersifat broad-spectrum, mampu menargetkan tidak hanya virus dengue tetapi juga berbagai jenis virus lain yang ditularkan oleh nyamuk. Melalui kolaborasi riset dengan UC Davis, diharapkan memperkuat kapasitas riset biomedis nasional serta menjadi langkah nyata dalam memberdayakan ilmuwan perempuan Indonesia untuk berkontribusi di panggung bioteknologi global.
Dari dunia rekayasa lingkungan, Helen Julian, Ph.D., dosen Fakultas Teknologi Industri ITB, mengembangkan teknologi Membrane Photobioreactor–Nanofiltration untuk mengubah limbah cair pabrik kelapa sawit menjadi bioenergi dan bahan pangan. Inovasi ini memperlihatkan bagaimana bioteknologi bisa mendukung ekonomi sirkular dan industri berkelanjutan.
Ketua Dewan Juri FWIS 2025, Prof. dr. Herawati Sudoyo, MD., Ph.D., mengatakan bahwa sekitar 150 pendaftar merupakan perempuan peneliti yang berasal dari Papua Barat, Sumatera, hingga Asia dan Eropa. “Mayoritas proposal penelitian yang masuk berakar pada potensi lokal dan keanekaragaman hayati Indonesia. Selain kebermanfaatan bagi bangsa, perempuan peneliti yang terpilih menunjukkan track record dan potensi kolaborasi; karena tanpa kolaborasi, penelitian hampir mustahil untuk terealisasi,” katanya.
“Melalui program FWIS, kami mendukung para perempuan peneliti untuk menghadirkan sains yang berdampak, memberikan akses jaringan kolaborasi, dan juga memberikan ruang bagi mereka untuk bersinar. Karena dunia membutuhkan sains, dan sains membutuhkan perempuan,” tutup Melanie Masriel, Chief of Corporate Affairs, Engagement, and Sustainability PT L’Oréal Indonesia.