

Dies Natalis ke-44: Dewan Guru Besar Dorong Revolusi Pendidikan Indonesia 2045, AI Bukan Musuh Tapi Mitra Pendidik!

Moms, bukan rahasia lagi kalau dunia sedang berubah cepat. Teknologi melesat, pekerjaan bergeser, dan dunia anak-anak kelak akan sangat berbeda dari masa kecil kita sebagai orangtua. Mereka akan hidup berdampingan dengan teknologi canggih, termasuk Artificial Intelligence (AI). Pertanyaannya, sudahkah pendidikan kita siap mengantar mereka ke masa depan?
Dalam perayaan Dies Natalis ke-44 BINUS University, Selasa (1/7), para Guru Besar dari berbagai bidang berkumpul dalam sebuah forum strategis untuk membahas masa depan bangsa. Fokus mereka? Mencari solusi nyata atas berbagai tantangan global, termasuk pendidikan, teknologi, ekonomi, hukum, hingga krisis kemanusiaan.
Ketua Dewan Guru Besar BINUS University, Prof. Dr. Ir. Harjanto Prabowo, M.M., membuka kegiatan dengan menegaskan komitmen universitas dalam berkontribusi aktif terhadap kemajuan Indonesia. “Dewan Guru Besar adalah kekuatan intelektual BINUS yang hadir tidak hanya untuk membimbing dunia akademik, tapi juga sebagai suara moral dan ilmiah yang menjawab persoalan masyarakat dan bangsa,” ungkapnya saat ditemui pada pertemuan Guru Besar dan Media di Universitas Bina Nusantara Kampus Anggrek, Kemanggisan, Jakarta, Selasa (1/7).

Salah satu sorotan utama datang dari Prof. Dr. Ir. Sasmoko, M.Pd., M.A., CIRR, IPU, ASEAN Eng., SMIEEE, yang menyampaikan pentingnya revolusi pendidikan yang didukung kecerdasan buatan. Ia menekankan bahwa AI bukan pengganti pendidik (guru/dosen), melainkan partner strategis untuk menciptakan pengalaman belajar personal, relevan, dan berorientasi pada pembentukan karakter generasi emas 2045.
Dalam orasi yang mengusung topik "Revolusi Pendidikan Indonesia 2045: AI dan Pendidik Bersatu Mendesain Masa Depan”, Prof. Sasmoko mengajak kita membayangkan Indonesia pada 2045. Saat negeri ini merayakan 100 tahun kemerdekaannya dan diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi keempat dunia. Namun, ia mengajukan satu pertanyaan penting: “Apakah sistem pendidikan kita cukup berani dan visioner untuk mencetak pemimpin masa depan, bukan sekadar lulusan?”
AI Bukan Musuh Guru, Tapi Mitra Transformasional
Menurut Prof. Sasmoko, salah satu hambatan utama pendidikan di Indonesia adalah sistem yang belum mampu mengadopsi teknologi seperti AI secara bermakna. Padahal, teknologi ini bisa menjadi "mitra strategis" bagi guru, namun bukan pengganti mereka.
Pendidikan, katanya, harus berani mendesain masa depan. “Dan salah satu kuncinya adalah: model pendidikan masa depan bukan manusia versus mesin, tapi manusia bersama mesin. AI bukan ancaman, tapi mitra transformasional untuk mengembalikan roh pendidikan, membimbing dan menjadi mentor agar manusia menjadi pribadi yang utuh," ujar Prof. Sasmoko.

Meskipun begitu, Prof. Sasmoko menekankan bahwa AI bukan pengganti guru/dosen, justru sahabat baru di ruang kelas. “AI bukan menggantikan guru, tapi membuat guru lebih manusiawi. Guru bisa fokus membimbing, bukan tenggelam dalam administratif. AI bisa menjadi asisten pintar yang membantu guru memahami cara belajar setiap siswa sesuai pribadi masing-masing, memberikan umpan balik personal, hingga menyesuaikan materi pembelajaran,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa AI tidak memiliki nurani, jadi tidak bisa menggantikan nilai-nilai kemanusiaan. “Empati, nilai, dan imajinasi para siswa/mahasiswa tetap hanya bisa ditumbuhkan oleh guru/dosen. AI belum tahu mana yang adil dan mana yang bias, kecuali jika kita yang mengajarkannya,” tegas Prof. Sasmoko.
Sekolah Masa Depan
Dalam visi Prof. Sasmoko, sekolah masa depan adalah tempat co-creation: tempat para siswa, guru, dan bahkan AI berkolaborasi merancang solusi nyata. Kelas dibuka dengan brainstorming ide bersama AI, lalu didiskusikan dan diuji dalam bentuk proyek nyata: prototipe, karya seni, atau aksi sosial. “Di era AI, guru bukan lagi sekadar penyampai materi, tapi arsitek dari pengalaman belajar,” kata Prof. Sasmoko.
Di negara sebesar dan seberagam Indonesia, personalisasi pendidikan bukan kemewahan, melainkan keharusan. AI bisa menjadi jembatan keadilan pendidikan bagi anak-anak dari pelosok hingga pusat kota.
Untuk mewujudkan pendidikan Indonesia Emas 2045, Prof. Sasmoko mengatakan setidaknya lima pilar strategis harus dimulai hari ini:
- Kurikulum Visioner: Literasi AI, etika digital, dan keterampilan abad ke-21 harus menjadi budaya belajar sejak dini, bukan sekadar mata pelajaran.
- Guru sebagai Arsitek Pembelajaran AI: Pelatihan guru harus membentuk mindset baru, bukan hanya keahlian teknis.
- Infrastruktur Cerdas dan Merata: Konektivitas dan Cloud Learning harus menjadi hak dasar seluruh siswa Indonesia.
- Pembelajaran Ko-Kreatif Manusia-AI: Model integrated learning antara kecerdasan manusia dan mesin menjadi fondasi utama.
- Kebijakan Etis dan Adaptif: Regulasi pendidikan harus fleksibel, etis, dan berpihak pada perlindungan data serta nilai kemanusiaan.
“Indonesia tidak akan kalah oleh AI, tapi bisa tertinggal kalau tidak siap hidup berdampingan dengannya,” imbuh Prof. Sasmoko.
Pemikiran Lintas Disiplin Dewan Guru Besar
Sebagai bagian dari visi 2035: A World-class University, Fostering and Empowering the Society in Building and Serving the Nation, BINUS University melalui Dewan Guru Besar berkomitmen memberikan kontribusi nyata untuk menjawab tantangan bangsa dan dunia. Komitmen ini diwujudkan tidak hanya melalui pendidikan dan riset, tetapi juga dengan pendampingan masyarakat dalam proses perubahan berkelanjutan.

Selain Prof. Sasmoko, para Guru Besar BINUS University juga menyampaikan gagasan lintas disiplin, antara lain: Prof. Dr. Ir. Derwin Suhartono, S.Kom., MTI, menyoroti pentingnya kebijakan nasional yang adaptif dan agile untuk menjawab kecepatan inovasi teknologi informasi yang semakin disruptif.
Lalu, Prof. Yanthi Rumbina Ianova Hutagaol, S.P., M.Acc., Ph.D, menggarisbawahi bahwa transformasi digital di sektor ekonomi, terutama UMKM, harus berjalan seiring dengan etika, integritas, dan keadilan sosial. Sementara itu, Prof. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum, menekankan perlunya integritas, pendidikan etika hukum, dan partisipasi publik dalam pengawasan untuk menjaga stabilitas politik dan penegakan hukum.
Prof. Dr. Nesti F. Sianipar, S.P., M.Si., menyampaikan tantangan lintas generasi terkait ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat, serta pentingnya inovasi untuk mendukung stabilitas sosial. Sementara Prof. Gatot Soepriyanto, S.E., Ak., M.Buss (Acc)., Ph.D., CA, CFE, memberikan refleksi atas kegagalan startup di Indonesia, yang mencerminkan urgensi literasi keuangan, tata kelola korporasi yang kuat, dan regulasi yang progresif namun inklusif terhadap inovasi.
Forum ini bukan sekadar ruang akademik, tetapi menjadi momen refleksi dan kontribusi nyata Dewan Guru Besar BINUS University dalam menghadapi kondisi bangsa dan global saat ini.