Komisi III Desak Evaluasi Penggunaan Senjata Api, Tekankan Pentingnya Kesehatan Mental Personel
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap sistem penggunaan senjata api di lingkungan Polri menyusul insiden penembakan sesama anggota di Solok Selatan, Sumatera Barat.
Menurutnya, peristiwa ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, melainkan cerminan dari permasalahan yang lebih dalam yaitu pengelolaan senjata api di institusi kepolisian.
"Kasus Solok Selatan menjadi alarm bagi kita semua. Ini bukan hanya soal tindakan kriminal individu, tetapi juga soal sistem yang perlu diperbaiki. Kita perlu melakukan evaluasi menyeluruh, mulai dari prosedur penggunaan senjata, psikologis personel, hingga pengawasan internal," tegas Habiburokhman dikutip dari Warta Parlemen, Produksi Televisi dan Radio Parlemen, Biro Pemberitaan Parlemen, Sekjen DPR RI (28/11). "Senjata api adalah alat yang sangat berbahaya, dan penggunaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Kesehatan mental yang stabil menjadi salah satu syarat mutlak,” imbuhnya.
Kasus penembakan yang melibatkan anggota Polri ini bukanlah yang pertama kalinya. Selain insiden di Solok Selatan, sejumlah kasus serupa juga pernah terjadi di beberapa daerah lainnya. Penyebabnya beragam, mulai dari konflik pribadi, kesalahpahaman, hingga penyalahgunaan wewenang.
Habiburokhman mendesak agar pihak kepolisian mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Penguatan Psikologi Personel: Seluruh personel yang memegang senjata api diwajibkan mengikuti tes psikologi secara berkala. Selain itu, juga adakan program konseling dan pembinaan mental secara rutin.
Peningkatan Pelatihan: Kurikulum pelatihan penggunaan senjata api harus diperbaharui dengan penambahan materi tentang etika, de-escalation, dan penanganan situasi krisis.
Penguatan Pengawasan Internal: Pengawasan terhadap penggunaan senjata api pun harus diperketat melalui sistem pelaporan yang lebih transparan dan akuntabel. Bentuk tim khusus untuk menangani kasus-kasus pelanggaran disiplin terkait penggunaan senjata.
Evaluasi Regulasi: Peraturan perundang-undangan terkait penggunaan senjata api dievaluasi secara komprehensif untuk memastikan kesesuaian dengan perkembangan zaman dan kebutuhan keamanan.
Komisi III juga mendorong agar dilakukan pelatihan yang lebih intensif dan komprehensif bagi personel terkait penggunaan senjata api. Pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan menembak, tetapi juga etika penggunaan senjata, dan penanganan situasi darurat.
“Kami berharap dengan adanya evaluasi dan pembenahan ini, kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota kepolisian dapat diminimalisir. Masyarakat berhak merasa aman dan terlindungi dari tindakan kekerasan yang melibatkan senjata api,” tambah Habiburokhman.
Desakan Komisi III ini sejalan dengan keprihatinan masyarakat terhadap maraknya kasus penembakan yang melibatkan anggota kepolisian. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, dapat menimbulkan korban jiwa dan merusak citra institusi kepolisian.
Kasus Solok Selatan menjadi momentum penting bagi Polri untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan senjata api. Penggunaan senjata api yang tidak terkendali, tidak hanya membahayakan nyawa manusia, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Evaluasi yang dilakukan harus bersifat komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, pakar psikologi, dan masyarakat sipil. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran disiplin terkait penggunaan senjata api.