

Berpikir Komputasional Sejak Dini: Cara Seru Siapkan Anak Tangguh Hadapi Masa Depan

Moms, bayangkan anak-anak yang sejak kecil terbiasa berpikir runtut, mencari pola, memecahkan masalah tanpa panik, dan memiliki rasa ingin tahu tinggi. Di era teknologi yang terus bergerak cepat, keterampilan seperti ini bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Inilah esensi dari berpikir komputasional, pendekatan berpikir yang kini mulai ditanamkan sejak usia dini.
Saat mendengar kata "komputasional", mungkin yang terbayang adalah kode rumit atau layar komputer. Padahal, berpikir komputasional bisa dikenalkan lewat aktivitas sederhana, contohnya bermain daun, menyusun langkah-langkah, atau mengurutkan cerita.
Inilah semangat utama dari Festival dan Lomba Berpikir Komputasional Tingkat SD dan MI yang digelar oleh Bakti Pendidikan Djarum Foundation (BPDF) pada 27 Juli 2025 di Pendopo Kabupaten Kudus. Lebih dari 250 pelajar dari 11 SD dan MI mengikuti acara ini, yang bukan sekadar lomba, tapi selebrasi membekali anak-anak dengan keterampilan abad ke-21.
Mengapa Berpikir Komputasional Penting?
Berpikir komputasional adalah cara berpikir sistematis, logis, dan kreatif untuk memecahkan masalah. Pertama kali diperkenalkan oleh Seymour Papert pada 1980, kini berpikir komputasional (computational thinking) dikenal sebagai keterampilan abad ke-21 kelima, menyusul critical thinking, creativity, collaboration, dan communication (4C).

Dalam wawancara khusus, Felicia Hanitio, Deputi Direktur Program Bakti Pendidikan Djarum Foundation, menjelaskan bahwa mereka mulai mengembangkan program berpikir komputasional sejak 2021 melalui pembelajaran dan riset yang mendalam. "Setelah melalui pengembangan, kami melatih guru dan kepala sekolah dari 36 PAUD pada tahun 2023. Lalu, pada Desember 2024, mulai melibatkan 11 SD dan MI (Madrasah Ibtidaiyah)," ujarnya. Menurutnya, dunia yang cepat berubah menuntut cara berpikir yang adaptif dan logis sejak dini.
Itulah mengapa menanamkan cara berpikir komputasional pada anak sejak dini, sangat penting! Di masa depan, anak-anak akan hidup di dunia yang serba cepat, kompleks, dan penuh tantangan. Kemampuan berpikir sistematis dan fleksibel adalah bekal penting, tak hanya untuk bidang teknologi, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Felicia menegaskan bahwa berpikir komputasional bukan hanya untuk mereka yang ingin belajar koding. “Hal ini nantinya bisa membantu di berbagai bidang. Salah satunya memang untuk mereka yang ingin menjadi programmer, tapi tidak terbatas hanya pada itu,” terangnya. Berpikir komputasional diperlukan untuk membentuk cara berpikir yang kuat dan tahan banting dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
Bermain Sambil Belajar
Satu hal yang menarik dari program ini adalah pendekatannya yang sangat ramah anak. Alih-alih langsung mengajarkan teknologi yang rumit, BPDF memulainya dari pembangunan karakter dan pembelajaran sosial-emosional yang dimulai dari jenjang PAUD lalu ke tingkat SD.
“Kegiatan lomba ini adalah momentum penutupan program sekaligus membakar semangat. Program ini sejalan dengan arah strategis Kemendikbudristek. Jadi, sebenarnya lebih menitikberatkan pada pelatihan dan pendampingan yang sudah berjalan beberapa tahun. Ini bukan sekedar lomba,” kata Felicia.
Lomba berpikir komputasional di Kudus dibagi dua kategori: plugged (menggunakan alat digital) seperti Animasi Scratch, Creative Robotics, dan Story Telling Scratch; serta unplugged (tanpa alat digital) seperti Programmer Cilik, Batang dan Daun, dan Menyortir Koin.

Tapi jangan bayangkan lomba yang penuh tekanan, ya Moms. Justru yang terlihat adalah anak-anak yang tertawa ceria, asyik bermain, dan berebut menyelesaikan tantangan logika dalam bentuk games unplugged. “Meskipun sederhana, permainan seperti menyortir koin dan batang daun sangat baik untuk melatih dasar berpikir komputasional," terang Felicia.
Permainan itu melatih logika, pengambilan keputusan, hingga mengenali pola, tanpa perlu komputer, sehingga program ini inklusif bahkan untuk sekolah yang belum punya sarana teknologi lengkap.
Tantangan dan Solusi
Namun, ada tantangan besar dalam menyebarluaskan konsep ini. Menurut Felicia, miskonsepsi masih sering terjadi. “Jika berbicara tentang coding dan AI (Artificial Intelligence), beberapa sekolah menunjukkan resistensi karena merasa tidak punya cukup sarana. Dengan fokus pada permainan sederhana, kegiatan ini jadi bisa diterapkan secara luas. Jadi resistensinya diturunkan dulu.”
Felicia menekankan bahwa berpikir komputasional bukan mata pelajaran terpisah. "Ini pendekatan yang bisa diintegrasikan ke semua pelajaran. Kalau hanya jadi tambahan satu jam seminggu, manfaatnya lebih sedikit dibanding jika benar-benar diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran," ujarnya. Pendekatan ini bisa diterapkan saat anak menyusun urutan cerita dalam Bahasa Indonesia, misalnya. Atau, mengerjakan soal logika di Matematika, memahami proses IPA, atau saat diskusi kelompok. Semuanya bisa melatih pola pikir sistematis.

Menariknya, implementasi membawa dampak nyata. “Sebagai salah satu ukuran keberhasilan, kami juga menguji dengan soal-soal terbuka dari organisasi internasional dalam bidang computational thinking. Hasilnya, dalam waktu dua bulan saja, terjadi peningkatan skor sebesar 62% dibanding saat pre-test,” katanya.
Soal-soal itu mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills) yang selama ini dikhawatirkan masih rendah pada anak-anak Indonesia. “Padahal sebenarnya bisa, potensinya ada, tinggal bagaimana dilatih secara konsisten dan dengan cara yang menyenangkan. Jadi, meskipun kegiatan ini sederhana, jika diterapkan secara konsisten, dampaknya sangat terasa,” imbuh Felicia
Harapan Guru dan Dukungan Pemerintah
Dahlia, guru dari SD Unggulan Muslimat NU, mengaku senang dengan program ini. "Sebelumnya memang ada pelatihan, dan sekarang anak-anak bisa langsung aplikasikan. Kami kirim 23 siswa sebagai perwakilan sekolah, 11 untuk kategori plugged dan 12 untuk unplugged," ujarnya. Ia berharap pendekatan ini terus diterapkan dalam semua mata pembelajaran. “Agar anak-anak bisa lebih senang dan semangat belajar,” katanya.

Dari sisi pemerintah daerah, ditemui seusai penutupan lomba, Bupati Kudus Sam’ani Intakoris, menyampaikan apresiasinya. Menurutnya, generasi masa kini tidak hanya butuh pembelajaran akademik, tapi juga bekal untuk menghadapi dunia yang berubah cepat. "Lomba ini akan menghasilkan generasi emas dari Kudus, generasi yang optimis karena diperkenalkan dengan konsep berpikir komputasional sejak dini," ujarnya.
"Anak-anak ini butuh pembelajaran, permainan, dan pengasahan otak. Kalau kita tidak siap dari sekarang, kapan lagi? Kita bisa tertinggal dari negara lain," tambahnya. Menurutnya, program kegiatan berpikir komputasional sejalan dengan Kurikulum Merdeka dan harus terus didukung.
Pentingnya Peran Orangtua
Saat ini, program berpikir komputasional masih terfokus di Kudus, sebagai "halaman belakang" Djarum Foundation. Namun, Felicia berharap praktik baik ini bisa menjadi referensi bagi daerah lain.
"Kalau daerah lain ingin tukar pikiran, silakan. Kami juga sudah siapkan modul dan materi pelatihan. Untuk PAUD, materi sudah bisa diakses lewat kanal YouTube Direktorat," katanya. Tahun ini, mereka juga sedang mengembangkan buku aktivitas per kelas, per fase, dan per mata pelajaran.

Felicia menekankan pentingnya peran orangtua. "Orangtua adalah guru pertama anak, terutama pada usia dini. Kami dampingi guru agar bisa berbagi juga kepada orangtua. Harapannya, kegiatan-kegiatan yang dicontohkan bisa menjadi inspirasi dan membantu orangtua. Karena sering kali, orangtua juga bingung mau bermain apa dengan anak, kehabisan ide. Semoga modul ini bisa memberi inspirasi untuk diterapkan di rumah," tutup Felicia.
Melalui pendekatan yang menyenangkan dan tidak membebani, BPDF berharap berpikir komputasional bisa menjadi bagian dari keseharian anak Indonesia. Karena masa depan dimulai dari cara anak-anak berpikir hari ini!