Bisa Terjadi pada Semua Usia! Kenali Kematian Jantung Mendadak Akibat Aritmia

Efa Trapulina - Selasa, 26 Maret 2024
Ilustrasi seseorang mendapat serangan jantung (Foto: Ist/Freepik)
Ilustrasi seseorang mendapat serangan jantung (Foto: Ist/Freepik)
A A A

Aritmia adalah gangguan irama jantung yang tidak normal dan dapat membuat kinerja jantung menjadi kurang efisien. Kondisi ini bisa terjadi pada siapa saja termasuk anak-anak, dewasa hingga lansia. Bahkan, jika tidak terdeteksi, aritmia bisa berakibat fatal hingga menyebabkan kematian, lho, Moms.

Kematian yang disebabkan penyakit jantung dapat berupa serangan jantung maupun henti jantung. Serangan jantung terjadi ketika pembuluh darah koroner tersumbat sehingga jantung tidak mendapat oksigen dan nutrisi, dan berakibat fatal.

Adapun henti jantung terjadi ketika listrik jantung berdenyut supercepat (>300 denyut per menit), yang mengakibatkan seseorang kolaps, dan bisa meninggal dalam waktu kurang dari 10 menit, sehingga sering disebut sebagai Kematian Jantung Mendadak (KJM).

Diuraikan oleh dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, Konsultan Aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung (aritmia) yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat.

dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, Konsultan Aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital
dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, Konsultan Aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital

Penanganan dengan ICD

“Di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa per tahun. Salah satu jenis yang muncul adalah Sindroma Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan. Menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada individu yang sehat (>20%) terutama di daerah Asia Tenggara, penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung hingga menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat,” urai dr. Sunu ketika ditemui dalam acara media gathering di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (25/3/24).

Untuk penanganannya, perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal. Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung, tetapi di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD). Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Dan yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu.

Ilustrasi sebuah S-ICD (ICD bawah kulit)
Ilustrasi sebuah S-ICD (ICD bawah kulit)

Sindrom Brugada

Tanggal 9 Maret 2024 yang lalu, Heartology menjadi rumah sakit jantung pertama di Indonesia yang melakukan pemasangan S-ICD pada pasien Sindrom Brugada.

dr. Sunu mengisahkan, belum lama ini seorang pasien laki-laki usia 46 tahun, dirujuk dari Papua untuk dilakukan pemeriksaan jantung di Heartology Hospital.

“Pasien relatif tanpa keluhan. Namun dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut Sindrom Brugada. Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal,” katanya.

Gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang sampai meninggal mendadak. Sampai saat ini penyebab sindrom Brugada belum jelas. Akan tetapi, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting.

Terkait pasien dari Papua tadi, ditemukan informasi bahwa kakak kandungnya meninggal mendadak pada usia 50-an.

“Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui,” lanjut dr. Sunu.

Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal. “Alatnya memang agak besar dan terlihat menonjol ketika sudah dipasang, akan tetapi manfaatnya sangat besar untuk life saving, bisa menyelamatkan jiwa pasien,” ucap dr. Sunu.

Biaya Mahal

Oleh karena itu, berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi kelas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi kematian jantung mendadak (KJM).  Sayangnya, dengan estimasi KJM sebesar >100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa di-cover dengan pembiayaan BPJS.

“Biayanya pemasangan ICD lumayan besar, sekitar 130 hingga 150 juta, bahkan bisa sampai 200 juta,” pungkas dr. Sunu.

Selain implantasi ICD, tatalaksana lain dari sebuah gangguan irama jantung dapat berupa tindakan kateter ablasi 3 dimensi.

Pentingnya Pemeriksaan EKG

Untuk mencegah terjadinya KJM, diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan awal untuk mengidentifikasi apakah seseorang mempunyai risiko tinggi mengalami KJM. Disini, elektrokardiografi  (EKG) memiliki peran penting sebagai rekaman aktivitas listrik jantung ke dalam sebuah kertas.

“Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan sederhana yang penting dalam mengidentifikasi apakah seseorang berisiko tinggi mengalami KJM atau tidak,” tutup dr. Sunu.

Kids Zone
Zona di mana buah hati Anda dapat menikmati kisah-kisah seru dalam bentuk cerita dan komik, mengeksplorasi artikel pengetahuan yang menyenangkan, serta permainan yang menarik untuk mengasah pemikiran buah hati.
Masuk Kids Zone
Latest Update
Selengkapnya
img
Gerakan Anti Ruam: Cegah Ruam Popok, Dokter Anak Sarankan Lakukan Ini
img
Jangan Sembarangan Pijat, Begini Cara Tepat Atasi Cedera Olahraga dan Gangguan Muskuloskeletal
img
Bersama Melawan Kanker, YKI Bagikan Semangat dan Nutrisi di Hari Anak Nasional 2024
img
Lebih dari Sekadar Pencernaan: Mengapa Kesehatan Usus Penting untuk Masa Depan Anak?