Cara Nadia Frederica Ajarkan Empati pada Anak Melalui Petualangan dan Eksplorasi
Bagi Moms yang sering berselancar di dunia media sosial, pasti tak asing lagi dengan nama dan wajah wanita cantik ini, Nadia Frederica. Sosoknya tak hanya dikenal sebagai influencer , tapi juga sebagai ibu yang penuh perhatian.
Sebagai bagian dari The Hartono’s Family - sebuah keluarga yang dikenal dengan konten kreatif dan inspiratif di media sosial TikTok dan Instagram - Nadia sering berbagi momen sehari-hari bersama suami dan anak-anaknya. Konten mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan banyak tips parenting yang bermanfaat.
Dalam dunia parenting yang semakin kompleks, Nadia Frederica telah menemukan cara unik untuk mendidik kedua anaknya, Clayton Edberd (Clay) yang berusia 7 tahun dan Clifford Eldridge (Cliff) yang berusia 6 tahun, dengan pendekatan yang penuh empati dan pengertian.
Dengan filosofi yang sejalan dengan Positive Discipline, Nadia berfokus pada membangun hubungan yang kuat dan terbuka dengan anak-anaknya, memastikan mereka merasa didengar dan dihargai.
Positive Discipline adalah pendekatan dalam pengasuhan dan pendidikan yang berfokus pada membangun hubungan positif antara orangtua dan anak. Konsep ini dikembangkan oleh psikolog dan pendidik, Jane Nelsen, dan menggabungkan disiplin dengan pengertian dan rasa empati.
Tujuannya adalah untuk mengajarkan anak bagaimana bertindak dengan cara yang bertanggung jawab dan menghormati orang lain, sambil tetap merasa dicintai dan dihargai.
Ditemui dalam acara talkshow edukasi Taro Rangers Camp di Taman Safari Bogor, beberapa waktu lalu, Nadia Frederica berbagi pengalamannya mengasuh anak.
Baca juga: Membentuk Karakter Anak Melalui Adventure Parenting
Membangun Keterbukaan
Nadia percaya bahwa keterbukaan adalah kunci utama dalam mendidik anak-anak. Ia selalu menciptakan ruang bagi Clay dan Cliff untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka.
“Saya adalah tipe orang yang membiarkan anak-anak bercerita tentang diri mereka sendiri. Nanti, saya akan observasi apakah mereka sudah berada di jalur yang benar,” ungkapnya saat ditemui dalam sesi talkshow parenting di acara Taro Rangers Camp di Taman Safari Bogor, beberapa waktu lalu.
Dengan membiarkan anak-anak berbicara, Nadia membantu mereka merasa nyaman dan percaya diri dalam mengekspresikan diri.
Nadia menyadari bahwa pendekatan yang terlalu memaksa dapat membuat anak-anak merasa tertekan. “Anak-anak sekarang sulit sekali jika kita orangtua terkesan memaksa mereka. Misalnya, kita mengatakan, ‘Kamu harus bilang ke Mami seperti ini.’ Yang ada, mereka justru merasa kita cerewet,” ujarnya.
Oleh karena itu, Nadia lebih memilih untuk mendengarkan dan memberikan anak-anak kebebasan untuk mengekspresikan diri tanpa tekanan.
Pentingnya Empati
Selain itu, Nadia menekankan bahwa empati adalah landasan dalam pengasuhan. Ia tidak ingin terkesan memburu-buru atau merasa paling benar saat menghadapi anak-anaknya.
“Sebenarnya, kalau dibilang berhasil, itu masih proses. Anak-anak masih kecil dan perjalanan kami masih panjang. Tapi saya percaya bahwa anak-anak harus dibesarkan dengan empati,” terangnya.
Melalui pendekatan ini, ia ingin mengajarkan anak-anaknya untuk memahami perasaan orang lain, untuk menciptakan generasi yang lebih peduli dan empatik.
Ya, era digital membawa dampak signifikan terhadap perkembangan anak-anak masa kini, termasuk dalam hal rasa empati. Di satu sisi, akses mudah ke informasi dan komunikasi dapat membantu anak memahami perspektif orang lain dan belajar tentang berbagai budaya, yang bisa meningkatkan empati. Misalnya, melihat konten tentang pengalaman orang lain melalui media sosial dapat membuka mata anak terhadap realitas yang berbeda.
Namun, di sisi lain, interaksi digital yang berlebihan bisa mengurangi kesempatan anak untuk berlatih empati secara langsung. Ketika anak lebih banyak berkomunikasi melalui layar daripada secara tatap muka, mereka mungkin kehilangan nuansa emosional yang penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal ini bisa membuat mereka kurang sensitif terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
“Saya setuju banget bahwa empati adalah hal yang paling penting, terutama bagi anak-anak sekarang. Empati ini sangat dibutuhkan agar bangsa kita bisa menjadi lebih baik. Jika seseorang tidak memiliki empati, mereka cenderung merasa egois, menganggap diri sendiri yang paling benar dan hebat, sehingga tidak merasa perlu memiliki empati,” tegas Nadia.
Eksplorasi dan Pengalaman Langsung
Tantangan di era digital ini pun sangat dipahami oleh Nadia. Itulah mengapa, sebagai ibu ia tak ingin buah hatinya terjebak oleh ‘gadget’ saja dan tidak melatih rasa empati. Untuk itu, ia punya metode mengajarkan anak-anaknya melalui petualangan dan bereksplorasi.
“Saya sering mengajak Clay atau Cliff untuk hiking atau travelling, memberi mereka kesempatan untuk belajar dari pengalaman. Misalnya, saat kita pergi ke Hongkong, saya membiarkan mereka naik tram sendiri. Mereka belajar, misalnya, bahwa ketika tempat sudah penuh maka kita harus berdiri, dan jika ada orang yang lebih membutuhkan tempat duduk, kita harus memiliki empati untuk memberikan kepada mereka,” jelasnya.
Tak hanya anak, orangtua pun harus memiliki empati. Salah satunya adalah dengan menjadikan pengalaman sebagai petualangan. “Misalnya, ajak anak untuk langsung ikut serta, seperti antre. Mereka perlu merasakan langsung, karena jika hanya diucapkan, itu tidak akan benar-benar masuk ke dalam pemahaman mereka,” katanya.
Nadia berpendapat bahwa pengalaman adalah guru terbaik. “Saat mengajak mereka antre misalnya, anak mungkin akan bertanya 'Kenapa aku harus capek? Aku mau duduk.' Setiap orang memiliki kepentingan masing-masing, dan mereka perlu mengalami sendiri agar memahami situasi,” imbuh Nadia.
Petualangan: Jalan Menuju Empati
Nah, berbicara tentang empati, Damar Wahyu Wijayanti, Certified Positive Discipline Parent Educator menambahkan bahwa pengalaman langsung adalah kunci untuk memahami konsep tersebut.
“Anak-anak, terutama yang berusia 6-12 tahun, mengembangkan otak mereka melalui pengalaman. Jangan berharap mereka bisa langsung mengerti konsekuensi dari tindakan mereka hanya dengan penjelasan. Mereka harus mengalami sendiri,” jelas Damar.
Menjadi orangtua, ungkap Damar, adalah perjalanan yang penuh tantangan. Karena itu, penting bagi orangtua untuk menekankan pentingnya mindset petualangan dan parenting, di mana orangtua dan anak dapat bersama-sama menghadapi tantangan sehari-hari demi memperkuat bonding antara mereka.
Di sini, metode Adventure Parenting menjadi sangat relevan. Damar menekankan pentingnya memberi anak-anak kesempatan untuk mengalami konsekuensi dari tindakan mereka melalui pengalaman langsung, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.
Baca juga: Keren! 40 Anak Bertualang dan Belajar Nilai-nilai Budi Pekerti di Rangers Camp, Simak Keseruannya!
Damar mencontohkan, dalam program petualangan Rangers Camp yang diusung oleh pionir snack Taro, anak-anak yang menjadi peserta belajar untuk melatih kemampuan intrapersonal mereka, melatih emosi dan mengembangkan empati.
“Dalam proses menyelesaikan tantangan pada aktivitas kelompok, kemampuan intrapersonal mereka akan terasah. Misalnya, jika ada teman yang tampak lambat, mereka harus belajar menahan diri untuk tidak langsung mengkritik dengan berkata, ‘Kamu lelet banget sih.’ Sebagai gantinya, mereka bisa menggunakan kemampuan komunikasi dan kerjasama dengan bertanya, “Kamu bisa ngikutin alur kita nggak? Atau butuh bantuan? Dengan pendekatan ini, mereka belajar untuk saling mendukung dan membangun suasana yang positif,” jelas Damar.
Satu hal yang orangtua tak boleh lupa, saat memberikan anak-anak kesempatan untuk eksplorasi, keselamatan adalah prioritas utama. “Kita harus membatasi pengalaman agar tetap aman. Keselamatan anak harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Damar juga menyebutkan bahwa pada program petualangan Rangers Camp tersebut, ada banyak pendamping yang siap menjaga keselamatan anak-anak yang menjadi peserta camp.
“Meskipun anak-anak diajak untuk bereksplorasi, tetap ada aturan yang harus diikuti untuk memastikan pengalaman tersebut tetap aman dan menyenangkan,” tegas Damar.
Hal ini pun diamini oleh Nadia, sebagai ibu ia membiarkan anak bertualang tetapi tetap dalam pengawasan.
Melalui pendekatan yang penuh empati dan pengertian serta adventure parenting, Nadia Frederica ingin terus menciptakan hubungan yang kuat dan terbuka dengan anak-anaknya. Di tengah tantangan dunia modern, pendekatan Nadia bisa menjadi inspirasi bagi banyak orangtua lainnya yang ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan anak-anak mereka.
Ditemui pada kesempatan yang sama, Riza Arief Rahman, VP-Head of Marketing FKS Food menyatakan pihaknya ingin terus berkontribusi pada pembangunan karakter dan budi pekerti anak Indonesia melalui cerita dan kegiatan petualangan Taro untuk membentuk anak-anak yang kuat dan berbudi pekerti. Ada 5 prinsip dasar budi pekerti yang mereka harapkan ada pada diri anak-anak Indonesia, yakni: compassion (peduli, empati), integrity (dapat diandalkan), courage (keberanian), resilience (tangguh, kuat, tahan banting), hingga creativity (kreativitas).
"Di sini, kami juga menyadari pentingnya peranan orangtua dalam pembangunan karakter dan budi pekerti anak. Untuk itu, kami ingin terus mendorong orangtua maupun anak-anak Indonesia untuk menjalani petualangan dalam belajar, bertumbuh, dan menghadapi setiap tantangan dengan penuh percaya diri. Kami akan selalu hadir untuk tumbuh bersama keluarga Indonesia dengan adventure parenting ini. Kami berharap para rangers yang sudah mengikuti kegiatan Rangers Camp bisa menikmati dan mendapatkan manfaat positif sehingga tumbuh menjadi anak dengan karakter yang kuat dan budi pekerti yang baik," tutup Riza.