

Perangi TBC Bersama: Komunitas, Kunci Eliminasi Meski Dana Terbatas!

Meski dihantam badai efisiensi anggaran dan pembekuan dana dari USAID (United States Agency for International Development), semangat dalam penanggulangan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia tak sedikit pun surut.
Pada 28 April 2025, STOP TB Partnership Indonesia (STPI) bersama Medco Foundation dan PR konsorsium Pena Bulu STPI, serta didukung Kementerian Kesehatan RI, menyelenggarakan Press Conference dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tuberkulosis Sedunia (HTBS) 2025.
Mengangkat tema “Terima Kasih Sudah Bertahan, Para Pejuang dan Pemerjuang TBC”, kegiatan ini tak hanya sekadar peringatan, tetapi juga menjadi ruang apresiasi dan pernyataan sikap bersama bahwa perjuangan belum usai.
Muhammad Hanif S.E, Dewan Pengurus Stop TB Partnership Indonesia, menekankan bahwa peran komunitas dalam penanggulangan TBC sangat vital. “Mereka adalah ujung tombak dalam deteksi dini, pendampingan pengobatan, dan penguatan edukasi masyarakat. Dengan bekerja bersama, kita bisa mengubah narasi TBC dari tantangan menjadi kemenangan,” tegasnya.
Hal senada disampaikan dr. Henry Diatmo, MKM, Direktur Eksekutif STPI. Ia menambahkan bahwa komunitas berperan langsung mendampingi pasien dan menyuarakan kebutuhan penyintas. “Banyak dari mereka yang tergabung dalam PR Konsorsium Penabulu-STPI, memberikan rujukan, pendampingan, bahkan menjadi saluran bagi pasien menyuarakan masalah sosial lewat platform LaporTBC,” jelasnya.
Salah satu upaya nyata komunitas adalah program SIKAT TPT (Terapi Pencegahan Tuberkulosis), yang fokus memberikan terapi pencegahan bagi kontak erat pasien TBC. Sayangnya, cakupan terapi ini baru mencapai 19% per Maret 2025. “Target TPT ini tantangan tersendiri karena harus diberikan pada orang sehat namun sudah terinfeksi. Banyak hoaks dan stigma yang menyulitkan,” ungkap dr. Betty Nababan, National Program Director PR Konsorsium Penabulu STPI.
dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA, Ketua Tim Kerja TBC Kementerian Kesehatan RI, menjelaskan bahwa selama dua tahun terakhir, khususnya saat masa pandemi COVID-19, upaya penemuan kasus TBC sempat terhambat. Akibatnya, jumlah estimasi kasus TBC pada tahun ini melonjak hingga mencapai sekitar 1.090.000 kasus.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa penanggulangan TBC tetap memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021, yang menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam mengatasi penyakit ini. Berkat dorongan tersebut, kinerja penemuan kasus di tahun 2024 menunjukkan perbaikan yang signifikan. “Pemerintah terus berkomitmen, sekarang TBC sudah menjadi isu prioritas. Bahkan Presiden Prabowo pun sudah menyampaikan komitmen Indonesia untuk eliminasi TBC di berbagai media,” ujar dr. Tiffany.
Program andalan pemerintah seperti TOSS (Temukan, Obati Sampai Sembuh) terus dioptimalkan, termasuk integrasi skrining TBC dalam layanan kesehatan gratis dan peningkatan peran fasilitas swasta.
Namun, ia juga mengakui bahwa penanganan TBC masih menghadapi tantangan besar, terutama stigma, keterbatasan akses, dan kompleksitas kasus khusus seperti pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). “Penanganannya lebih rumit karena stigma ganda. Kami berkolaborasi dengan komunitas HIV agar pengobatan bisa tuntas,” ujarnya.
dr. Tiara juga meluruskan soal pengobatan alternatif. “TBC adalah penyakit infeksi bakteri, jadi harus diobati dengan antibiotik. Herbal bisa jadi suplemen, tapi tidak bisa menggantikan pengobatan utama,” katanya.
Masih Setia Menemani Pasien
Ir. Yani Panigoro, Ketua Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dengan gaya khas dan penuh semangat menceritakan peran PPTI yang sudah berdiri sejak 1968. “Kami bukan organisasi baru. PPTI hadir di 14 provinsi dengan 65 cabang dan 121 anak cabang. Kalau ini partai, saya sudah jadi ketua umum,” selorohnya disambut tawa hadirin.
Meski bukan organisasi medis, PPTI turut bergerak aktif dalam advokasi, skrining, edukasi, hingga merujuk pasien ke puskesmas. “Kami mengisi kekosongan yang tak bisa dibiayai Global Fund, seperti edukasi berbasis komunitas. Kolaborasi dengan pemerintah dan lintas organisasi itu kunci,” kata Yani.
Ia juga mengusulkan agar pembagian wilayah kerja antarorganisasi bisa lebih terkoordinasi agar tidak tumpang tindih. “Jakarta itu luas, Jakarta Utara beda dengan Barat atau Timur. Kami pernah kumpulkan 300 orang di Cilincing dan Tanjung Priok. Yang gerakkan massa ya kader, bukan saya,” jelasnya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
TBC bukan hanya urusan rumah sakit. Ini soal komunitas, soal keluarga. Bagi para orangtua, peran Anda justru sangat krusial. Anak-anak yang terkena TBC sering kali bukan sumber penular, tapi jadi “alarm” bahwa ada yang menulari —biasanya dari rumah. Maka, jika ada keluarga yang batuk lama atau tidak sembuh-sembuh, jangan ragu untuk periksa.
dr. Tiara juga menjelaskan bahwa kasus TBC paling banyak ditemukan pada laki-laki usia produktif. Anak-anak meskipun jumlahnya lebih kecil, justru menjadi indikator bahwa ada penular aktif di sekitar mereka—biasanya di dalam rumah. Maka, peran keluarga, terutama Moms, sangat krusial dalam mengenali gejala dan memastikan anggota keluarga mendapatkan pemeriksaan dini.
“Kuncinya adalah deteksi dini dan edukasi. Jangan tunggu sampai parah. Berobatlah ke dokter dan ikuti pengobatan yang disarankan hingga selesai, jangan putus obat,” tegas dr. Tiara.
Jika Moms mendengar tentang pengobatan herbal, ingatlah bahwa itu hanya pelengkap. Jangan hentikan pengobatan yang telah diresepkan dokter. Dan yang terpenting, dukungan moral dan emosional dari keluarga bisa menentukan keberhasilan pengobatan.
Untuk Moms dan Keluarga, ini yang bisa dilakukan dari rumah: Kenali gejala TBC: batuk terus-menerus (lebih dari dua minggu), demam, berat badan turun tanpa sebab, berkeringat di malam hari. Periksa tanpa takut: TBC bisa disembuhkan sepenuhnya asal ditangani tepat. Dukung anggota keluarga yang sedang berobat, bukan menjauhi. Ajak lingkungan sekitar peduli dan hentikan hoaks seputar TBC.
Semakin banyak kasus ditemukan lebih awal, semakin besar kemungkinan untuk sembuh total. TBC bukan kutukan —tapi ujian yang bisa diatasi bersama. Yuk, Moms, kita ambil bagian dalam gerakan ini. Karena keluarga sehat, dimulai dari kesadaran dan aksi di rumah sendiri.
Mengangkat Suara Penyintas
Sebagai bagian dari rangkaian Hari TBC, STPI juga mengadakan pameran seni bertajuk Cerita dalam Lensa, yang berlangsung dari 28 hingga 30 April 2025 di Lantai Mezzanine, The Energy Building, Jakarta Selatan. Pameran ini menghadirkan 25–40 karya yang menggambarkan perjuangan para penyintas, stigma yang mereka hadapi, serta kekuatan komunitas dalam mendampingi. Ini bukan sekadar karya seni. Ini adalah cermin realitas yang patut kita lihat bersama.
Eliminasi TBC memang masih jauh dari kata selesai. Tapi langkah-langkah kecil, seperti mengenali gejala, mendukung pengobatan keluarga, dan ikut menyebarkan informasi benar, bisa membawa perubahan besar. Komunitas sudah bergerak. Pemerintah tetap berkomitmen. Kini, giliran kita semua untuk turut mendukung!