ads

Tiga Kali Lipat Risiko Memori Rendah: Fakta Mengejutkan Anemia dan Gangguan Penglihatan pada Anak Sekolah

Novita Sari - Minggu, 27 Juli 2025
Ki-ka: Dr. Kianti, Director Kemitraan dari IHDC; Presiden INA, Dr. dr. Luciana B. Sutanto, MS, SpGK(K); dan Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH,  Medical & Scientific Affairs Director Nutricia Sarihusada. Foto: Novi
Ki-ka: Dr. Kianti, Director Kemitraan dari IHDC; Presiden INA, Dr. dr. Luciana B. Sutanto, MS, SpGK(K); dan Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Medical & Scientific Affairs Director Nutricia Sarihusada. Foto: Novi
A A A

Tahukah, Moms and Dads, bahwa masa depan anak-anak Indonesia, calon penerus bangsa, saat ini sedang dihadapkan pada ancaman serius yang sering terabaikan?

Bukan hanya masalah gizi buruk seperti stunting, tetapi juga anemia defisiensi besi dan gangguan penglihatan yang ternyata berdampak signifikan pada kemampuan belajar dan berpikir mereka. 

Situasi ini bukan lagi dugaan, melainkan fakta yang telah terjadi di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di jantung Ibu Kota sekalipun.

Anemia: Si Pembungkam Potensi Akademik

"Hampir 20% pelajar Indonesia, terutama di Jakarta, menderita anemia, terutama anemia defisiensi besi," ungkap Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Medical & Scientific Affairs Director Nutricia Sarihusada di acara Symposium yang merupakan bagian dari rangkaian INA (Indonesia Nutrition Association) Nutri Symposium 2025, Minggu, 27 Juli 2025 di Jakarta.

Angka itu mengejutkan, mengingat anemia seringkali dianggap remeh. Lebih menakutkan lagi, studi yang dilakukan oleh Indonesian Health Development Center (IHDC) pada tahun 2024 terhadap lebih dari 300 anak Sekolah Dasar di Jakarta menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami anemia juga memiliki skor memori kerja yang lebih rendah.

Bayangkan, dua dari sepuluh anak Indonesia pada usia sekolah mengalami kondisi ini. Dr. Ray menambahkan, "Mereka tidak akan bisa mencapai potensi mereka di sekolah, mereka tidak bisa mempraktikkan semua modul pelajaran yang ditentukan oleh guru." Mengapa demikian? Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan anemia defisiensi besi umumnya memiliki kadar protein rendah, mengindikasikan asupan gizi yang tidak memadai."

Para guru juga mengamati perilaku yang mengkhawatirkan. "Orang yang memiliki memori yang anemik (disebabkan anemia), biasanya mereka sangat diam dalam kelas. Jadi mereka tidak menjawab pertanyaan dan menjawab pertanyaan guru. Dan ketika mereka beristirahat, mereka selalu berada di kelas, mereka tidak keluar, mereka tidak bermain dengan teman-teman," jelas seorang guru dalam diskusi kelompok terarah (FGD) kualitatif studi IHDC. Ini berarti, mereka kehilangan kesempatan penting untuk stimulasi sosial dan kognitif yang vital bagi perkembangan anak.

Data statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa anak dengan anemia defisiensi zat besi memiliki kemungkinan hingga tiga kali lebih besar untuk memiliki memori kerja yang rendah. 

"Jika mereka sudah mengalami IDA (Iron Deficiency Anemia), mereka sudah memiliki isu yang tinggi di pengambilan [nutrisi] dan juga memiliki keadaan kaki yang rendah [stunting], maka potensi memiliki skor [memori] yang rendah adalah hingga tiga kali," tegas Dr. Ray. Ini bukanlah masa depan Indonesia yang kita harapkan.

Gangguan Penglihatan: Penghalang Jendela Ilmu

Selain anemia, gangguan penglihatan juga menjadi masalah yang tak kalah serius. Dr. Kianti R. Darusman, M.Sc., PhD, Director Kemitraan dari Indonesian Health Development Center (IHDC), menyoroti fakta bahwa sekitar 40% anak Sekolah Dasar di Jakarta tidak dapat melihat papan tulis dengan jelas karena tidak mendapatkan intervensi yang tepat. Padahal, sebagian besar aktivitas belajar di sekolah bersifat visual.

"Anak dengan penglihatan terganggu perlu berusaha lebih keras untuk memahami informasi. Hal ini dapat menurunkan efisiensi memori kerja dan berdampak pada kemampuan belajar secara keseluruhan," jelas Dr. Kianti. 

Studi menunjukkan bahwa intervensi sederhana seperti pemberian kacamata dapat meningkatkan kemampuan edukasional anak hingga 55% dan bahkan meningkatkan nilai rapor dalam waktu enam bulan.

Tren peningkatan miopia (rabun jauh) akibat penggunaan gawai dan minimnya aktivitas di luar ruangan menjadi tantangan global, termasuk di Indonesia. 

"Di Singapura, China, 50% atau bahkan 60% anak-anak sekolah mereka di sekolah tinggi sudah memakai kacamata," tutur Dr. Kianti. 

Sayangnya, di Indonesia, meskipun prevalensinya meningkat, tingkat koreksinya masih sangat rendah. "Persentase anak yang sudah dikoreksinya tetap di bawah 10%," tambah Dr. Kianti. Ini berarti banyak anak-anak yang seharusnya memakai kacamata, namun belum menyadarinya atau tidak mendapatkan akses untuk koreksi.

Solusi Komprehensif untuk Masa Depan Cerah

Permasalahan anemia dan gangguan penglihatan ini jelas membutuhkan solusi yang komprehensif dan sistematis. Dr. Ray menekankan bahwa pencegahan anemia harus menjadi upaya multi-stakeholder, multifaktorial, dan multidimensional.

"Edukasi adalah bagian yang kritikal," ujar Dr. Ray. Bahkan, studi menunjukkan bahwa di segmen ekonomi sosial yang lebih tinggi sekalipun, jika literasi kesehatan rendah, risiko anemia defisiensi besi juga lebih tinggi.

Oleh karena itu, kolaborasi antara sektor pendidikan dan kesehatan adalah kunci. "Kita harus memiliki perubahan sistemik, langkah hidup untuk melindungi anak-anak Indonesia dari anemia. Dan paling penting, kita harus mempromosikan langkah hidup, terutama dalam intervensi saat usia sekolah," papar Dr. Ray. Ini bukan hanya tentang intervensi nutrisi, tetapi juga memerhatikan solusi alternatif, termasuk produk nutrisional terbaru.

Untuk gangguan penglihatan, screening atau deteksi dini menjadi sangat penting. Guru-guru di sekolah dapat dilatih untuk melakukan deteksi dini sederhana.

"Masalahnya adalah guru misalnya menyampaikan ke orangtua, atau dibawa ke FASKES, nah itu kadang-kadang di situnya tuh suka miss," ungkap Dr. Kianti. Perlu ada pemastian bahwa anak yang terdeteksi gangguan penglihatan, benar-benar mendapatkan intervensi dan memakai kacamata saat belajar di sekolah.

Kolaborasi dan Edukasi: Jalan Menuju Generasi Emas

Masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak kita. Masalah anemia dan gangguan penglihatan yang menghambat potensi mereka, bukanlah hal yang bisa diabaikan.

"Anak itu dilihat kebutuhan dia apa dulu. Nah sekarang, dua masalah terbesar itu nutrisi dulu, dan gangguan refraksi mata. Jadi kita screening dulu deh. Screening anemia, screening satu gizinya, dikasih asupan protein, susu pertumbuhan bisa jadi solusi. Dan kacamata, jangan lupa, ini anak-anak kacamata nih masih kurang banget tuh," tandas Dr. Ray.

Ini saatnya bagi kita semua—pemerintah, tenaga kesehatan, guru, orangtua, dan masyarakat—untuk bahu-membahu dalam mengatasi tantangan ini. 

Edukasi yang berkelanjutan, screening yang masif hingga ke Posyandu dan sekolah, serta intervensi yang tepat, baik nutrisi maupun koreksi penglihatan, adalah investasi terbaik untuk mewujudkan generasi Indonesia yang cerdas, sehat, dan berdaya saing global. 

Masa depan yang cerah dimulai dari kesehatan anak-anak kita hari ini, ya, Moms and Dads!

Kids Zone
Zona di mana buah hati Anda dapat menikmati kisah-kisah seru dalam bentuk cerita dan komik, mengeksplorasi artikel pengetahuan yang menyenangkan, serta permainan yang menarik untuk mengasah pemikiran buah hati.
Masuk Kids Zone
Latest Update
Selengkapnya
img
Solusi Inovatif Atasi Nyeri Lutut, Hidup Lebih Nyaman Tanpa Obat
img
Tiga Kali Lipat Risiko Memori Rendah: Fakta Mengejutkan Anemia dan Gangguan Penglihatan pada Anak Sekolah
img
Puskesmas jadi Garda Terdepan Lawan TB Anak, Semiloka APKESMI ke-5 Digelar di Balikpapan
img
Siap Kembali ke Sekolah? Waspada, Kekurangan Zat Besi dapat Ancam Kemampuan Belajar Anak