Dampak Masalah Makan Terhadap Tumbuh Kembang Optimal
Salah satu upaya melindungi anak yang perlu dilakukan orangtua untuk mendukung tumbuh kembang optimalnya adalah mencukupi kebutuhan nutrisi dan memberikan stimulasi yang tepat sesuai kebutuhan. Namun, ada kalanya anak justru menunjukkan masalah makan (feeding difficulties).
Orangtua bisa mulai waspada ketika anak menunjukkan satu atau lebih gejala dan tanda seperti penolakan makan yang berlangsung lebih dari 1 bulan, waktu makan terlalu lama, waktu makan yang membuat stres, distraksi saat meningkatkan asupan, kurangnya pemberian makan mandiri yang tepat, pemberian ASI yang berkepanjangan, makan nokturnal, dan gagal maju ke tekstur makanan yang berbeda. Ternyata masalah ini umum dialami orangtua di Indonesia, bahkan di berbagai negara lain. Tentu ini menyulitkan orangtua dan berpotensi jadi masalah karena di masa-masa pertumbuhan, banyak zat gizi dibutuhkan anak.
Masalah makan sendiri bisa disebabkan faktor lingkungan, perilaku atau psikologis/behaviour anak, atau bisa juga disebabkan gangguan organik seperti gangguan saluran cerna. Dari perspektif gastrohepatologi, feeding difficulties bisa jadi disebabkan gangguan pada pencernaan sehingga memengaruhi nafsu makan anak dan rutinitas makan sehari-hari.
Beberapa gangguan pencernaan yang menyebabkan ketidaknyamanan anak saat makan dan membuat anak enggan makan yakni diare, muntah, sakit perut, demam, gastroesophageal reflux disease (GERD), intoleransi laktosa, atau gangguan gastrointestinal lainnya. Selain memengaruhi nafsu makan anak, gangguan-gangguan tersebut juga dapat membuat kesan tidak menyenangkan pada anak sehingga anak memiliki rasa takut ketika makan.
Prof. dr. Badriul Hegar, Sp.A(K), Ph.D, Pakar Gastrohepatologi menyebutkan masalah makan pada anak perlu menjadi perhatian karena berdampak pada terganggunya pertumbuhan. “Konsumsi zat nutrisi yang tidak optimal, perkembangan juga terganggu, dan mempengaruhi emosinya. Istilah yang sering dipakai dan penerapannya pada masalah makan bervariasi, kadang tidak konsisten. Ada yang menyebutnya kesulitan makan, picky eater, selective eater, dan beberapa istilah lainnya,” ungkap Prof. Hegar.
Tingkat kesulitan pada anak bervariasi bergantung istilah yang digunakan dan umur, secara umum berkisar 20-70 persen pada anak usia di bawah 5 tahun. Meskipun sebagian besar disebabkan non organik, sebagai dokter dan orang tua perlu mewaspadai adanya alarm symptoms penyakit organik pada 20-30 persen anak dengan masalah makan.
Beberapa kelainan organik yang menyebabkan masalah makan pada anak. Pertama, gangguan saluran cerna penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), kolik infantil, infeksi saluran cerna. Kedua, alergi makanan terutama terhadap protein susu sapi, atau bahan makanan lainnya seperti gluten pada penyakit seliak. Ketiga, gangguan perkembangan motorik dan sensorik juga memengaruhi kemauan makan, kesulitan mengunyah dan menelan makanan. “Sebaiknya secara berkala kita mengevaluasi kemungkinan adanya kelainan organik pada anak yang belum memberikan respon terhadap tata laksana yang diberikan, minimal setiap 3 bulan. Tidak jarang kelainan organ yang tidak tertata laksana dengan maksimal, menyebabkan gangguan mind-set anak yang meninggalkan trauma terhadap makanan, sehingga meski kelainan organik telah teratasi, anak tetap mengalami masalah makan, menolak makanan yang diberikan,” papar Prof. Hegar.
Masalah makan pada anak juga menarik perhatian Vera Itabiliana S. Psi, Psikolog Anak di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Menurutnya, beberapa faktor psikologis bisa mengubah nafsu makan anak. “Praktik orang tua dalam memberi makan, orang tua yang juga memiliki feeding difficulties, atau sering menggunakan makanan sebagai hadiah atau hukuman dapat berkontribusi pada kebiasaan pilih-pilih makanan (picky eaters). Lalu pemberian variasi menu makanan yang terbatas juga menyebabkan anak memiliki masalah feeding difficulties. Makanan bervariasi dengan ragam rasa dan tekstur penting diajarkan sejak dini untuk mengembangkan penerimaan makanan. Lingkungan makanan di rumah termasuk ketersediaan makanan yang berbeda dan kebiasaan makan anggota keluarga, dapat mempengaruhi pilihan dan preferensi makanan anak,” ungkap Vera Itabiliana.
Jika anak memiliki pengalaman negatif dengan makanan tertentu, mereka mungkin tidak menyukai makanan itu dan ragu mencobanya lagi. Faktor emosional, seperti stress, perubahan rutinitas, atau kecemasan juga bisa mempengaruhi nafsu makan dan keinginan anak mencoba makanan baru, yang berujung memicu anak susah makan. Dampak anak susah makan juga bisa digali dari perspektif tumbuh kembang. Anak yang susah makan berisiko mengalami malnutrisi yang berdampak pada tumbuh kembangnya termasuk melemahnya sistem imunitas. Akibatnya anak mudah terinfeksi dan memperburuk malnutrisi. Malnutrisi juga dapat menyebabkan pertumbuhan otak tidak optimal sehingga daya pikir pada anak lebih lambat.
dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, Dokter Tumbuh Kembang Anak RSCM menjelaskan agar terhindar dari risiko malnutrisi, beberapa hal harus diperhatikan orang tua terkait pola makan anak. “Anak dapat mengalami malnutrisi yang ringan hingga feeding difficulties yang sangat ekstrem dan menyebabkan defisiensi gizi yang signifikan. Defisiensi gizi akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, pertumbuhan fisik, fungsi kognitif otak, motorik, fungsi fisiologis dan perubahan respon imun. Hal yang paling penting dilakukan orang tua dalam situasi ini adalah segera berkonsultasi dengan dokter, jadi bisa ditentukan prioritas penanganan dan tata laksananya,” jelas dr. Bernie.
Malnutrisi mengakibatkan defisiensi berbagai macam mineral, vitamin, dan protein. Sintesis protein yang tidak adekuat menurunkan daya tahan tubuh termasuk fungsi imun. Dengan daya tahan tubuh menurun, anak mudah infeksi. Status nutrisi yang baik berperan mencegah infeksi, sebaliknya infeksi dapat memperburuk malnutrisi. “Malnutrisi memperlambat proses penyembuhan penyakit dan menurunkan daya intelegensi anak. Seperti yang diketahui, perkembangan otak memerlukan dua aspek penting yaitu nutrisi dan stimulasi. Faktor fisik biomedis otak memerlukan peran penting nutrisi. Makanan dengan kualitas kadar gizi dan kuantitas yang optimal akan mendukung pertumbuhan otak yang optimal, apalagi didukung dengan stimulasi yang tepat oleh orang tua,” tambah dr. Bernie.
Dalam beberapa kasus, anak dengan feeding difficulties akan mengalami pertumbuhan lambat atau gagal, karena defisiensi nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dan normal sesuai usianya. Anak yang mengalami feeding difficulties dapat terpengaruh juga perkembangan kognitifnya sehingga kesulitan dalam berkonsentrasi, daya ingat lemah, dan kemampuan kognitif lainnya. “Untuk mendukung tumbuh kembang optimal serta mencapai berat badan anak yang sehat, orang tua berperan penting untuk memperhatikan pola makan pada anak serta variasi makanan yang akan sajikan kepada anak. Hal lain yang paling penting dilakukan orang tua adalah segera berkonsultasi dengan dokter, sebab, masalah ini bisa jadi bagian dari masalah lain yang lebih besar sehingga anak terancam mengalami malnutrisi atau defisiensi nutrisi yang berdampak pada tumbuh kembangnya,” tutup dr. Bernie.