

Ketika Iklim Berubah dan Anak Jadi Korban Kekerasan: Pemuda di SIKKA Angkat Suara!

Tahukah Moms, bahwa perubahan iklim ternyata bukan cuma soal cuaca ekstrem atau gagal panen, tapi juga bisa berdampak langsung pada anak-anak, bahkan meningkatkan risiko kekerasan terhadap mereka?
Kedengarannya mengejutkan, tapi inilah kenyataan yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia, terutama di wilayah seperti Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Ivan Tagor Manik, Senior Program Specialist di ChildFund International Indonesia, banyak orangtua di Sikka terpaksa meninggalkan anak-anak mereka karena lahan pertanian tak lagi bisa diandalkan akibat perubahan iklim.
“Ketika ladang tak lagi subur, banyak orangtua memutuskan untuk bermigrasi. Perpindahan ini bisa sejauh keluar pulau. Anak-anak ditinggal, kadang oleh ayah dan ibu sekaligus,” ujar Ivan dalam wawancara eksklusif terkait ChildFund International di Indonesia kampanye Green Leaders for Our Well Being (GLOW) dan National Youth Capacity Enhancement (NYCE) di Rumah Perubahan Jakarta Escape (17/6).

Dampaknya? Anak-anak mengalami penelantaran emosional dan fisik. Tanpa pengasuhan yang memadai, banyak anak bermasalah di sekolah. Belum lagi jika tekanan ekonomi memicu kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: Generasi Z untuk Bumi: ChildFund Dorong Anak Muda Pimpin Aksi Iklim lewat GLOW
Fenomena ini bukan sekadar teori. Sebuah survei nasional dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018) menunjukkan bahwa 62% anak Indonesia mengalami kekerasan. Dan saat bencana seperti Badai Seroja melanda NTT, pencarian tentang kekerasan terhadap anak melonjak, bahkan mencapai 80% di Google Trends lokal.
Anak Muda Bicara, Dunia Mendengar
Tapi jangan khawatir, Moms. Harapan datang dari anak-anak muda itu sendiri!
Melalui program Youth Voice Now di SIKKA, yang didukung oleh ChildFund bersama Swedish Institute dan Barnfonden, lebih dari 550 anak muda di Sikka diberi ruang untuk menyuarakan keprihatinan mereka, dan ikut terlibat dalam solusi.
Mereka tidak hanya aktif dalam kampanye lokal, tapi juga tampil di panggung internasional seperti Stockholm+50, menyampaikan suara anak Indonesia tentang iklim dan kekerasan. Bahkan, mereka menyusun dokumen aspirasi yang disampaikan dalam Konferensi Pemuda 2022 dan berpartisipasi dalam Musrenbang Kabupaten 2023, hingga mendorong pemerintah mengalokasikan anggaran untuk perlindungan lingkungan.
“Mereka melakukan riset sendiri sebelum menyusun rencana aksi. Jadi bukan sekadar aksi spontan, tapi berdasarkan bukti,” jelas Ivan bangga.
Kelas Ayah, Parenting Positif, dan Komunitas Peduli
Tak hanya fokus pada anak muda, ChildFund juga menyasar para calon orangtua. Mereka mengadakan pelatihan kerja agar para pemuda tak perlu merantau menjadi migran dan meninggalkan anaknya kelak.
Uniknya, ChildFund juga membuat kelas ayah —karena selama ini urusan parenting sering dianggap hanya tugas ibu. Di sisi lain, para kakek-nenek yang merawat cucu juga dilibatkan dalam pelatihan pengasuhan positif.
“Kami bentuk sistem pelaporan kekerasan di tingkat dusun. Sekarang masyarakat sadar, bahwa diam itu salah,” tambah Ivan.
Pemuda Sangat Penting dalam Perubahan
Moms, perlu diketahui bahwa secara statistik, pemuda di Indonesia mencapai 65–70 persen dari populasi penduduk Indonesia. Ini adalah modal besar bangsa.
“Kita perlu menempatkan mereka sebagai pelaku utama di tengah krisis iklim, karena secara energi dan pemikiran, mereka kuat. Kenapa tidak memanfaatkan kekuatan ini untuk perubahan?” ujar Ivan.
Anak muda punya semangat, kreativitas, dan kepedulian tinggi. Mereka bisa menjadi penggerak perubahan, bukan hanya penonton. Di Sikka, hal ini sudah terjadi. Dan jika diberi ruang di rumah, sekolah, dan komunitas, mereka bisa menjadi mitra terbaik kita, bahkan dalam mengatasi krisis sebesar perubahan iklim.
Ini Relevan untuk Moms di Rumah
Moms, sebagai orangtua, kita tentu ingin anak tumbuh di lingkungan yang aman, stabil, dan penuh kasih sayang. Tapi ketika krisis iklim datang mengetuk —dalam bentuk hujan tak menentu, banjir bandang, atau panen yang gagal— tekanan itu bisa menjalar ke dalam rumah.
Dan di tengah semua itu, anak-anak bisa jadi korban paling sunyi. Mereka tak selalu bicara soal perubahan iklim, tapi mereka merasakannya, melalui piring makan yang kosong, sekolah yang ditinggalkan, atau pelukan orangtua yang makin jarang.

Ivan pun mengutip cuplikan video yang diputar dalam diskusi National Youth Capacity Enhancement (NYCE) di mana ia menjadi mentor dan pembicara. "Kalau gagal panen, orangtua saya tidak punya uang. Maka pendidikan saya yang dikorbankan,” menggambarkan bahwa dampak iklim tak sesederhana itu, anak-anak yang tak bersalah, pun bisa jadi korban!
Yuk, Dukung Anak Muda Jadi Pelopor!
Anak muda bukan hanya korban. Mereka bisa jadi pahlawan perubahan. Di Sikka, mereka sudah membuktikannya. Dengan semangat, pengetahuan, dan dukungan yang tepat, anak-anak kita bisa jadi agen perubahan, untuk lingkungan, keluarga, dan masa depan yang lebih aman.
Karena pada akhirnya, melindungi anak dari kekerasan bukan hanya soal aturan atau hukum, tapi soal menciptakan lingkungan yang peduli, stabil, dan penuh cinta.
Moms, yuk mulai dari rumah. Ajak pasangan ikut dalam pengasuhan, ajak anak-anak mencintai lingkungan, dan dengarkan suara mereka. Karena perubahan iklim bukan sekadar isu global, tapi juga urusan keluarga.