

Tingkatkan Deteksi Dini Kesehatan Mata Anak dengan Digital Screening

Saat ini diperkirakan 3,6 juta anak Indonesia mengalami kelainan refraksi, dengan 3 dari 4 anak tidak mendapatkan koreksi kacamata yang diperlukan. Di Jakarta, 40 persen anak SD (kelas 4-6) terdiagnosis gangguan refraksi dan butuh kacamata. Dan ditemukan >50 persen anak disabilitas memiliki gangguan penglihatan yang tidak terdeteksi.
Seperti diketahui kelainan refraksi mata adalah suatu gangguan penglihatan yang menyebabkan cahaya tidak terfokus dengan tepat pada retina, sehingga menyebabkan pandangan kabur. Ini terjadi karena bentuk mata tidak memungkinkan cahaya masuk dibiaskan dengan benar untuk membentuk gambar yang jelas. Beberapa jenis kelainan refraksi yang umum adalah rabun jauh (miopi), rabun dekat (hiperopia), mata silinder (astigmatisme), dan presbiopia.
Menteri Kesehatan RI 2014-2019 Prof. Nila F Moeloek mengungkapkan hasil penelitian menunjukkan peningkatan signifikan kasus gangguan penglihatan pada anak-anak Sekolah Dasar setelah masa pandemi COVID-19.“Selama pandemi, anak-anak banyak belajar dari rumah dan menggunakan gawai untuk waktu yang lama. Kebiasaan ini menyebabkan anak lebih sering melihat jarak dekat, yang berdampak pada pertumbuhan bola mata menjadi lebih panjang atau dikenal dengan mata minus. Selain kebiasaan penggunaan gawai dengan intensitas tinggi, intensitas anak-anak bermain di luar ruangan juga rendah, ditambah orang tua dan guru mengalami tantangan dalam berkomunikasi dengan anak untuk mengurangi perilaku berisiko tersebut. Hal ini sebabkan meningkatnya kasus gangguan penglihatan pada anak,” ujar Prof Nila yang ditemui pada kegiatan uji publik inovasi pemeriksaan kesehatan mata dan jiwa anak, CERMATA.

Gangguan penglihatan ini tentunya akan berpengaruh pada proses belajar anak karena penglihatan yang buruk membuat mereka kesulitan fokus, membaca, dan memahami materi pelajaran, yang dapat menyebabkan nilai buruk, kelelahan, dan penurunan kepercayaan diri. Menurut Dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K), anak yang mengalami gangguan penglihatan juga dapat mengalami risiko cemas atau ansietas. “Ternyata ada korelasi antara kelainan mata dengan kesehatan jiwa anak. Melalui skrining kesehatan mata dan jiwa pada 40 anak berkacamata diketahui bahwa, 50 persen pelajar mengaku pernah diejek, ditertawakan akibat penggunaan kacamata. Dan 57 persen mengalami gejala ansietas berat, 67 persen mengalami gejala depresi,” ungkap dokter spesialis mata anak ini.
Dalam rangka memperkuat kualitas sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045, sebuah inovasi skrining kesehatan mata dan jiwa berbasis digital yang inklusif, adaptasi lokal dari platform WHOeyes diperlukan. Inovasi ini hadir sebagai solusi ilmiah untuk menjawab tantangan akses skrining mata konvensional yang masih terbatas, terutama di lingkungan sekolah dasar dan anak dengan disabilitas.
“Pendekatan skrining yang belum pernah dilakukan di Indonesia, dan sangat holistik karena menggunakan pendekatan kombinatif antara kesehatan penglihatan dan kesehatan jiwa, dua masalah kesehatan yang penting untuk membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dan dari proses pengembangan, uji validasi serta implementasi pada lebih dari 1200 anak SD di Jakarta terbukti pendekatan ini sangat efektif meningkatkan daya cakupan skrining bahkan efektivitas deteksi dini untuk masalah gangguan penglihatan dan kesehatan jiwa anak selama proses belajar di sekolah,” ungkap dokter Kianti juga sebagai Project Leader dan Peneliti Utama CERMATA.