

Atasi Presbiopia dengan Prosedur Refractive Lens Exchange (RLE)

Sekitar 86,3 juta populasi Indonesia berusia 45 tahun ke atas terancam presbiopia atau mata tua, yakni penurunan kemampuan akomodasi lensa mata yang menyebabkan kesulitan melihat benda dekat. Penggunaan kacamata dianggap sebagai solusi lazim bagi para penyandangnya - yang sayangnya berpotensi menghambat aktivitas, bahkan menurunkan kualitas hidup.
Mendobrak pandangan umum tersebut, JEC Eye Hospitals and Clinics memperkenalkan prosedur Refractive Lens Exchange (RLE) berupa penggantian lensa mata yang bertujuan mengurangi kebutuhan kacamata/lensa kontak. Diperkuat teknologi Femtosecond Laser-Assisted Cataract Surgery (FLACS) yang berpresisi tinggi dan minim risiko, prosedur RLE memungkinkan kalangan pasien presbiopia segera terbebas dari ketergantungan berkacamata atau menggunakan lensa kontak.
Dr. Nashrul Ihsan, Sp.M(K), Dokter Subspesialis Katarak, Lensa dan Bedah Refraktif JEC Eye Hospitals and Clinics sekaligus Kepala Klinik Utama Mata Bekasi mengatakan, “Prevalensi presbiopia secara global terus meningkat seiring bertambahnya harapan hidup dan intensitas tuntutan penglihatan dekat di era modern, seperti penggunaan ponsel. Padahal kalangan 45 tahun ke atas biasanya mulai menjalani usia emas lantaran berada di puncak periode produktif, atau sedang menikmati masa senior bersama keluarga. Lebih dari sekadar membatasi aktivitas keseharian, presbiopia bisa berdampak secara psikologis, bahkan ekonomi.”
Prevalensi presbiopia pada usia 45 tahun ke atas mencapai 83 persen. Diestimasi, pada 2030 mendatang, sekitar 2,1 miliar orang. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa pasien presbiopia, baik di negara berpenghasilan tinggi maupun rendah, mengalami penurunan kualitas hidup. Presbiopia yang tidak terkoreksi mengakibatkan penderita dua kali lebih sulit melakukan tugas-tugas yang membutuhkan penglihatan jarak dekat. Kesulitan ini meningkat hingga delapan kali lipat untuk tugas penglihatan jarak dekat yang sangat intens. Lebih-lebih, 12 persen pasien presbiopia memerlukan bantuan dalam menjalankan tugas rutin, yang pada akhirnya dapat memicu tekanan mental dan penurunan harga diri.
Presbiopia memiliki gejala khas yang mudah dikenali dalam keseharian, antara lain kesulitan melihat objek atau tulisan pada jarak dekat. Secara naluriah, penderitanya akan menjauhkan objek tersebut agar dapat terlihat/terbaca dengan lebih jelas. Kondisi ini sering disertai dengan gejala sekunder berupa kelelahan mata, sakit kepala setelah membaca atau melakukan pekerjaan detail dengan fokus pandangan jarak dekat (seperti memasukkan benang ke jarum atau membaca label barang berhuruf kecil). Presbiopia juga membuat penderita membutuhkan pencahayaan yang lebih terang saat membaca. Gejala-gejala ini umumnya mulai muncul secara bertahap pada usia 40-an dan menjadi semakin nyata setelah usia 45 tahun, sejalan dengan proses penurunan kemampuan akomodasi lensa mata yang merupakan bagian alami dari proses penuaan.
Dari sisi dampak ekonomi, studi yang mengkaji beban global hilangnya produktivitas akibat presbiopia yang tidak dikoreksi menemukan, di antara individu berusia 50 tahun ke bawah, terdapat potensi hilangnya produktivitas terkait sebesar USD 11 miliar. Pada mereka yang berusia 65 tahun ke bawah yang merupakan presbiopia yang tidak diobati, potensi hilangnya produktivitas diperkirakan sebesar USD 25,4 miliar jika semuanya diasumsikan produktif.
“Imbas presbiopia melibatkan komponen psikologis karena penyandangnya menganggap opsi kacamata bifokal sangatlah tidak menarik, dan seolah menandai penuaan. Sementara, rata-rata penderita presbiopia masih menjalani gaya hidup aktif sehingga penggunaan kacamata dapat menghalangi performa dalam beraktivitas. RLE menjadi prosedur ideal bagi mereka yang tidak nyaman mengenakan kacamata dan menginginkan solusi jangka panjang,” papar Dr. Nashrul Ihsan, Sp.M (K).
RLE merupakan prosedur penggantian lensa alami mata yang sudah tidak berfungsi optimal dengan lensa tanam (intraokular lens/IOL). Keandalan prosedur RLE tak hanya efektif untuk mengoreksi presbiopia, tetapi juga gangguan refraksi lainnya, seperti mata minus (miopia), mata plus (hipermetropia), dan silinder (astigmatisme) - semuanya dalam satu tindakan.
Dr. Nashrul Ihsan, Sp.M(K). menambahkan, “RLE sangat direkomendasikan untuk pasien yang mengalami perubahan penglihatan akibat proses penuaan. Bukan itu saja, RLE juga menjadi satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus khusus yang sudah tak tertangani LASIK atau SMILE Pro. Misalnya, penderita miopia ekstrem dengan kondisi minus 20.”
Keunggulan lain RLE, dari tingkat keberhasilan tindakan, rasionya mencapai 98,5 persen. Risiko 1,5 persen komplikasi operasi biasanya bisa dikoreksi dengan operasi lanjutan. Dari sisi pasien, 95 persen mengaku puas dengan hasil tindakan dan berpendapat RLE telah mengubah hidup mereka. Selain itu, 4 dari 5 pasien juga sudah tidak lagi membutuhkan kacamata setelah mendapatkan prosedur RLE.
Penerapan prosedur RLE di jaringan JEC Eye Hospitals and Clinics diperkuat teknologi Femtosecond Laser-Assisted Cataract Surgery (FLACS) yang berpresisi tinggi dan minim risiko, dengan waktu pemulihan yang lebih cepat. Tergantung kondisi masing-masing pasien, waktu tindakan RLE berbasis FLACS cenderung cukup singkat (berkisar 10-15 menit per mata). Saat ini, layanan RLE dengan FLACS telah tersedia di RS Mata Menteng, RS Mata Kedoya dan RS Mata Orbita @ Makassar, sedangkan prosedur RLE bisa didapatkan di seluruh cabang.