Jangan Anggap Biasa! Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental dan Emosi bagi Perempuan Pekerja
Moms, kita hidup di dunia yang serba cepat. Sehari-hari, banyak perempuan memegang rangkap peran sekaligus, mungkin termasuk Moms. Entah itu sebagai istri, ibu, pekerja, pengelola rumah tangga hingga sebagai anak dari orang tua kita. Rutinitas kerja yang panjang, tuntutan peran ganda, dan tekanan sosial yang tak tampak sering menyatu menjadi beban yang tidak mudah diurai. Meski begitu, banyak perempuan masih menganggap keluhan fisik maupun emosional sebagai “harga wajar” dari produktivitas. “Ah, itu normal!” Pikiran dan kondisi itu akhirnya dinormalisasikan yang berujung pada stres.
Di atas semua beban itu, perempuan tak jarang juga menghadapi stigma dan mitos. Contohnya, adanya keluhan fisik seperti nyeri haid acapkali dipandang sebagai hal yang normal. “Itu wajar, tahanin aja, minum air hangat juga baikan,” begitu ucapan orang sekitar. Padahal, saat semua dianggap normal, kesehatan perempuan itu sendiri menjadi taruhannya.
Akibatnya, banyak perempuan modern, termasuk pekerja dan yang mandiri, tanpa sadar mengabaikan waktu untuk menenangkan diri dan mendengarkan tubuhnya, hingga akhirnya memengaruhi kesehatan mental.

Kaitan Stres dengan Hormon Perempuan
Stres, menurut dr. Karina Kalani, Sp.KJ, psikiater Filmore Medical Clinic, bukan hanya persoalan “merasa lelah secara emosional”. Secara biologis, stres memang memengaruhi regulasi hormon. “Estrogen dan progesteron —dua hormon khas perempuan— adalah hormon yang paling sensitif terhadap perubahan stres. Pada fase hidup tertentu yang dialami perempuan seperti pubertas, kehamilan, hingga masa setelah persalinan, perubahan hormon bisa begitu besar hingga memengaruhi kondisi emosi,” ujarnya saat ditemui pada grand opening layanan kesehatan khusus perempuan Filmore Medical Clinic di Setiabudi One, Jakarta (17/11).
Dalam talkshow bertajuk “Women on The Move: The Inner Science of Her”, dr. Karina menerangkan bahwa selain hormon, struktur otak perempuan juga memainkan peran penting. Area emosi pada otak perempuan, imbuhnya, cenderung lebih aktif dan lebih terkoneksi, sehingga respons terhadap stres bisa berbeda dibandingkan laki-laki. “Ini bukan kelebihan atau kekurangan, tapi karakter biologis yang membuat perempuan lebih peka secara emosional,” tutur dr. Karina.
Perempuan Lebih Banyak Memendam
Hal ini, juga berpengaruh pada cara perempuan merespons stres, tekanan atau situasi sulit (coping style). Menurut dr. Karina, ada 2 jenis coping style, yakni: externalizing, yakni mengekspresikan keluar, misalnya marah. Lalu ada internalizing, yakni memendam, merenung, menyalahkan diri.
Sayangnya, imbuh dr. Karina, perempuan cenderung memiliki gaya internalizing. “Ketika di kantor misalnya, perempuan lebih banyak diam saat stres, barulah ketika di rumah semua emosi itu lepas,” katanya.
Sayangnya, budaya turut memperkuat pola ini. Norma sosial yang membatasi perempuan untuk terlalu vokal dianggap “melawan” atau tidak bisa mengelola emosinya, sehingga membuat banyak perempuan memilih diam demi merasa aman dan tidak merasa dihakimi. Tapi kondisi ini pula lah yang dapat menjadi sumber tekanan emosional berkepanjangan.
Padahal, berani bersuara atau “speak up” sebenarnya adalah cara berkomunikasi yang bisa menjadi langkah pertama untuk mengubah banyak hal, termasuk untuk membantu perempuan memahami tubuh dan emosinya sendiri. “Banyak perempuan terbiasa menahan diri karena harapan sosial, padahal speak up itu merupakan bentuk komunikasi, dapat menjadi jalan untuk mengenali masalah dan mencari solusi,” terang dr. Karina yang lantas mengungkap bahwa masalah kesehatan mental perempuan Indonesia yang tertinggi dan sering ditemui adalah perasaan cemas (anxiety) dan depresi.
Pentingnya "Safe Space" bagi Perempuan
Adanya safe space (ruang aman) bagi perempuan untuk bersuara atau speak up mengenai kondisi kesehatan dirinya, baik secara fisik maupun mental tentunya sangat dibutuhkan bagi perempuan urban. Prinsip ini pula yang diterapkan melalui klinik khusus perempuan dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek medis, psikologis, dan gaya hidup.
Gitta Amelia, Founder & CEO Filmore Health mengatakan, “Kami memahami bahwa perempuan menjalankan peran ganda, di rumah, di pekerjaan, maupun di masyarakat. Karena itu, kami ingin menghadirkan layanan kesehatan yang benar-benar selaras dengan ritme keseharian mereka. Pembukaan Medical Clinic kedua setelah Pondok Indah ini merupakan langkah untuk mendekatkan layanan kami kepada segmen perempuan profesional yang aktif di kawasan perkantoran. Kami juga melihat semakin tingginya kebutuhan akan ‘safe space’ layanan medis yang cepat, tepercaya, dan mendukung keseharian perempuan yang dinamis.”
Mengusung prinsip #NoJudgementJustCare, para dokter ahli, psikolog, psikiater dan tenaga kesehatan menekankan nilai empati dan inklusivitas. “Sehingga menjadikan klinik sebagai ruang aman bagi perempuan untuk berbicara terbuka tentang kesehatannya, termasuk isu mental dan emosional yang sering kali terabaikan,” ujar Gitta.
Hal ini penting! Gitta lalu menyinggung dinamika ketika perempuan membicarakan masalah keluhan fisik atau emosionalnya dengan jujur pada tenaga medis, seringkali edukasi sederhana dan validasi emosi sudah cukup membantu pasien memahami kondisinya, bahkan tanpa perlu obat.
“Kami merawat perempuan secara menyeluruh, mulai dari layanan ginekologi, hormon, kejiwaan, diet dan nutrisi, dermatovenerologi, kontrasepsi, maternity/postpartum, vaksin, serta perawatan anak & remaja. Kami ingin pasien merasa aman di setiap klinik. Ketika seseorang merasa aman, mereka bisa jujur. Dan ketika mereka jujur, diagnosis dan treatment menjadi jauh lebih tepat,” terang Gitta.
Hal ini diangguki dr. Karina. Ia menegaskan bahwa konsultasi dengan tenaga medis sebaiknya dilakukan dengan jujur dan terbuka. “Jujur pada diri sendiri dan pada tenaga kesehatan membantu diagnosis lebih tepat. Kadang, masalah justru selesai ketika komunikasinya benar. Ruang aman yang empatik dan bebas stigma adalah fondasi agar perempuan berani memulai percakapan tentang apa yang mereka rasakan,” imbuhnya.
Tak lupa dr. Karina memberikan tips agar perempuan bisa mengelola mental dan emosionalnya dengan baik dalam rutinitas sehari-hari. “Sebagai langkah awal, ambil waktu untuk mengenal diri sendiri baik tubuh dan emosi, berkomunikasilah dengan baik, jalankan pola makan sehat, olahraga ringan 20-30 menit beberapa kali seminggu secara rutin, dan jangan lupa istirahat atau tidur cukup,” tutupnya.