Menkes: Tiap Tahun Indonesia Tambah ‘Satu Singapura’, Jumlah Lansia Meningkat dan Penyakit Degeneratif Mengintai!
Setiap tahun, Indonesia seolah “melahirkan satu negara Singapura.” Begitu perumpamaan yang disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin saat menghadiri peresmian grand opening Brawijaya Hospital Taman Mini, Jakarta Timur, Selasa (28/10).
Menurutnya, ada sekitar 4,8 juta kelahiran di Indonesia setiap tahun, jumlah yang hampir setara dengan populasi Singapura yang sekitar 5 juta jiwa. Fakta ini, katanya, memberikan peluang bagi banyak Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi untuk menangani kesehatan reproduksi wanita, kehamilan, dan persalinan.
Namun, di balik angka yang besar itu, muncul isu angka kelahiran justru menurun. “Ibaratnya, setiap tahun kita menambah satu Singapura baru. Tahun depan tambah satu lagi. Dua tahun kemudian, tambah dua Singapura. Namun memang, sekarang muncul isu baru: angka kelahiran (AK) menurun. Pada zaman Pak Harto (orde baru) dulu, pemerintah fokus membangun puskesmas dan posyandu karena populasi balita sangat tinggi. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Jumlah lansia meningkat!” kata Budi.
Ia melanjutkan. “Saya sendiri sudah lansia, umur 61 tahun. Jakarta kini memiliki lebih banyak lansia daripada balita. Yogyakarta malah lebih tinggi lagi persentase lansianya. Nah, perubahan struktur demografi dan epidemiologi ini harus diantisipasi oleh Kementerian Kesehatan, dan juga oleh rekan-rekan pelaku layanan kesehatan,” imbuh Menkes.
Kebutuhan Layanan Kesehatan Berubah
Isu turunnya angka kelahiran dipicu banyak faktor: usia menikah yang makin tua, biaya hidup tinggi di perkotaan, hingga meningkatnya kasus gangguan kesuburan. Bahkan sebagian pasangan memilih menunda punya anak, atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali (child free).
Menkes Budi mengingatkan, perubahan struktur penduduk itu membawa konsekuensi besar bagi dunia kesehatan. “Karena ke depan, permintaan layanan kesehatan akan bergeser: dari yang dulunya fokus pada ibu dan anak, kini akan lebih banyak pada penyakit degeneratif seperti stroke, jantung, gagal ginjal dan penyakit khas usia lanjut lainnya. Bukan berarti layanan untuk balita berkurang pentingnya, tapi fokus kebutuhannya akan berubah,” imbuhnya.
Penyebab Kematian Tertinggi
Budi menekankan bahwa penyebab kematian terbanyak di Indonesia saat ini bukan lagi penyakit menular, tetapi penyakit tidak menular (non-communicable diseases). “Yang pertama itu adalah stroke, sekitar 300 ribu kematian per tahun. Nomor dua adalah penyakit jantung, sekitar 250 ribu kematian per tahun. Berarti total, penyakit kardiovaskular menyebabkan sekitar setengah juta kematian per tahun yang tercatat. Dan data yang tidak tercatat bisa 2–3 kali lipat dari itu. Artinya, kemungkinan lebih dari 1 juta orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Penyakit-penyakit ini adalah penyakitnya khas orang tua. Walaupun, stroke dan jantung kadang juga menyerang usia muda, mulai usia 40 tahun pun bisa,” ungkap Menkes.
Pihak Kementerian Kesehatan sendiri, menurut Budi, sangat serius menangani penyakit khas usia lanjut ini seperti jantung, karena itu termasuk penyebab kematian tertinggi. “Masalahnya, penyakit ini tidak menular langsung, merupakan penyakit kronis. Orang yang kena penyakit ini gak langsung meninggal. Butuh waktu sebelum akhirnya fatal. Karena itu, pencegahannya harus dimulai sejak dini,” katanya.
Itu sebabnya, salah satu fokus transformasi Kemenkes adalah skrining kesehatan preventif. Ia mengimbau masyarakat untuk rutin memeriksa tiga hal utama yakni: tekanan darah, gula darah, dan kolesterol. “Kalau tekanan darah tinggi, atau gula darah di atas 5,7, maka akan diberi tanda kuning di aplikasi Satu Sehat. Mereka harus datang ke puskesmas dan akan diberikan obat gratis seperti Amlodipin atau Metformin. Setiap hari harus diminum, dan dicek kembali 3 bulan kemudian. Ini cara paling sederhana untuk menekan penyakit kardiovaskular,” terang Menkes Budi.
Kebutuhan akan permintaan layanan kesehatan penyakit degeneratif seperti yang diutarakan Menkes, diakui Devin Wirawan, Presiden Direktur Brawijaya Hospital Group sudah mereka antisipasi. Didirikan pada tahun 2006 sebagai rumah sakit ibu dan anak dan akhirnya berkembang menjadi jaringan layanan kesehatan komprehensif mencakup layanan di bidang Jantung, Onkologi, Fertilitas, Ortopedi, dan Bedah Minimal Invasif. “Kehadiran rumah sakit kami yang ke-6 menjadi bukti komitmen untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Kami tidak sekadar membangun gedung, tetapi juga harapan dan kepercayaan masyarakat, sekaligus mendukung program pemerintah dalam mewujudkan layanan kesehatan terbaik bagi seluruh Indonesia,” ujar Devin.
dr. Melanie Vandauli F. MARS, Direktur Brawijaya Hospital Taman Mini menyampaikan bahwa mereka siap melayani kebutuhan masyarakat dengan layanan Degenerative Center (untuk penanganan penyakit degeneratif), Medical Check Up (untuk pencegahan dan deteksi dini), Woman and Children (untuk kesehatan ibu dan anak), dan Trauma Center (untuk penanganan kegawatdaruratan). “Kami tidak hanya siap, tetapi sangat antusias untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Jakarta Timur dan sekitarnya,” tutupnya.