Ara si Angin
- Cerita: Seruni
- Ilustrasi: Agung Hari Parjoko
- Translator: Listya Natalia Manopo
Ara ingin menjadi angin yang terkuat di dunia. Sewaktu dia masih menjadi angin kecil, Ara selalu mendengar kehebatan angin-angin kencang yang kuat dan tidak terkalahkan. Angin-angin kencang ini membuat gemetar siapa pun yang mendengar nama mereka.
“Aku juga akan menjadi angin kencang terkuat, sehingga namaku dikenal dan ditakuti!” kata Ara penuh tekad. Maka, Ara berlatih dengan rajin menjadi angin kencang. Dia melakukan keributan-keributan kecil seperti menerbangkan debu dan menerbangkan benda-benda padat.
Suatu hari ketika Ara sedang bertiup santai, dia bertemu dengan angin sebayanya yang bernama Rura. “Aku angin yang tadinya membantu anak-anak bermain layangan, tapi aku selalu diejek, dikatai tidak berguna dan lemah. Aku ingin jadi angin kencang!” kata Rura. “Kalau begitu, ayo, kita menjadi badai bersama!” ajak Ara. Sejak itu, Ara dan Rura berteman akrab. Mereka berlatih bersama menjadi angin kencang yang ditakuti.
Suatu hari, Ara dan Rura bertemu dengan angin tua bernama Funa. Funa pernah menjadi angin kencang hebat dan ditakuti. Ara dan Rura sangat gembira bisa bertemu dengan legenda seperti Funa.
“Funa, tolong ajari kami menjadi badai yang hebat!” minta Ara dan Rura. Funa menatap mereka sedih. “Dulu, aku sama dengan kalian, ingin jadi kuat. Aku menjadi badai Funa yang menyeramkan. Tapi, jika waktu bisa dikembalikan, aku hanya ingin dikenal sebagai angin sepoi-sepoi yang lembut,” kata Funa.
Ara dan Rura terkejut dan marah mendengar penjelasan Funa. “Payah!” seru Ara. “Sebagai badai, kau jadi terkenal. Semua angin ingin terkenal!” tambah Rura. “Apa yang bisa dibanggakan kalau terkenal karena membawa kerusakan dan penderitaan bagi kehidupan di Bumi?” kata Funa. Ara dan Rura yang kecewa, meninggalkan Funa. “Dia jadi aneh karena sudah tua,” kata mereka.
Akhirnya, Ara dan Rura bertemu dengan angin kuat dan kencang bernama Gona. “Ayo, berlatih bersamaku,” kata Gona. Ara dan Rura sangat gembira.
Suatu hari, Gona mengajak mereka ke laut. “Kita akan diajari menjadi badai!” seru Ara dan Rura. Tapi, apa yang terjadi kemudian membuat Ara dan Rura terkejut.
Gona memutar tubuhnya dengan kencang. Ara dan Rura ikut berputar bersama Gona. Tapi ada yang tidak beres. “Gona! Mengapa kami seperti tersedot?!” seru Ara. “Kau menyerap kami!” teriak Rura ketakutan. Gona tertawa mengerikan.
“Kalian pikir, menjadi badai tidak membutuhkan pengorbanan? Aku menjadi kuat karena menyerap angin-angin payah seperti kalian!” kata Gona. Ara dan Rura melihat angin-angin kecil seperti mereka tersedot ke dalam pusaran Gona.
“Rura, lari!” seru Ara berputar melarikan diri sekuat tenaga sambil menggandeng tangan Rura. Tapi, Gona sangat kuat dan Rura tersedot dengan cepat. “Rura!” teriak Ara.
Di tengah keributan itu, Ara terkena sambaran petir dan terlempar jauh dari pusaran Gona. Kumpulan awan hitam membawa Ara entah kemana, dan ketika sadar, Ara berada di sebuah tempat yang tidak dia kenal sama sekali.
Sejak kejadian itu, Ara sangat menyesal dan sedih karena kehilangan sahabatnya, Rura. Dia bertiup tidak tentu arah, sampai tiba di suatu tempat yang tak pernah dia lihat sebelumnya.
Tempat itu padang luas dengan banyak kincir angin berwarna putih. Entah kenapa Ara merasa bahagia. Menyenangkan sekali bertiup dan membuat kincir-kincir angin yang indah ini berputar! “Ara?” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing menyebutkan namanya. “Rura?!” seru Ara terkejut.
Ya, itu Rura, sahabatnya. Dia selamat! Rura sangat gembira. “Aku berhasil melepaskan diri dari Gona. Funa menolongku, dan dia membawaku ke sini,” kata Rura.
“Tempat apa ini?” tanya Ara. “Ini ladang angin. Kincir angin putih yang kau lihat ini disebut dengan turbin angin. Ketika kita bertiup, baling-baling di turbin angin akan berputar dan menghasilkan energi listrik. Energi ini membantu kehidupan manusia,” jelas Funa.
“Ara, ayo kita tinggal di sini bersama Funa. Kita bersama-sama menjadi angin yang membantu berjalannya kehidupan,” ajak Rura. “Kita bisa menjadi angin yang disukai bukan angin yang dibenci dan ditakuti,” kata Funa. Ara mengangguk setuju. “Aku senang sekali, Funa, Rura. Terima kasih!” kata Ara.