Bo yang Berbeda
- Cerita: Seruni
- Ilustrasi: Agung Hari Parjoko
- Translator: Listya Natalia Manopo
Di negeri Pinta, ada satu keluarga yang dikenal sangat pintar oleh orang-orang, yaitu keluarga Tinggi. Keluarga Tinggi selalu menjadi ilmuwan dan penemu, serta profesi lain yang membutuhkan kecerdasan.
Bo adalah anak paling bungsu dari keluarga Tinggi. Tapi sayang sekali dia tidak pintar seperti 3 kakaknya, yaitu, Ba, Be, dan Bu. Ba menjadi seorang profesor. Be menjadi ilmuwan dan Bu menjadi seorang ahli rancang bangun.
Bo sudah berusaha untuk menjadi seperti ketiga kakaknya, tapi sekeras apapun dia berusaha, kemampuannya selalu kurang. “Apa yang harus kulakukan supaya bisa seperti kakak dan jadi anggota keluarga Tinggi yang membanggakan?” keluh Bo.
Hari ini Bo merasa lelah dan jenuh. Dia sudah belajar keras tapi ketika hasil ujiannya dibagikan, dia meraih nilai yang biasa saja, tidak jelek tapi juga tidak bagus. Tidak ada yang bisa dibanggakan.
“Kau hanya kurang berusaha, Bo. Lebih rajin lagi belajar!” kata ketiga kakaknya. Bo yang sedih, menatap keluar jendela. “Wah, cuaca cerah. Ini hari yang baik untuk pergi bermain di sungai,” kata Bo.
Bo mengambil egrang kesayangannya dan pergi ke sungai. Di tepi sungai, dia bertemu dengan seorang nenek yang kebingungan. Rupanya, si nenek ingin menyeberang sungai tapi sungai itu dalam. “Tenang, Nek, aku akan menyeberangkan Nenek,” kata Bo.
Nenek naik di bahu Bo dan menggunakan egrang, Bo berjalan ke seberang. Nenek sangat berterima kasih dan memuji keahlian Bo. Bo jadi merasa bangga. Senang sekali rasanya bisa membantu orang yang kesulitan!
Suatu hari, Bo mendengar ada perlombaan egrang di negeri Pinta. Bo ingin ikut, tapi dia jadi sedih karena teringat ketiga kakaknya. “Mereka pasti melarangku ikut,” keluh Bo.
Saat itu dia sedang duduk sendirian di tepi sungai. “Siapa yang melarangmu ikut, Nak?” tanya suara yang tak asing lagi bagi Bo. “Nenek!” seru Bo. Rupanya, Nenek yang pernah diseberangkan Bo. “Aku ingin minta bantuanmu lagi menyeberang sungai,” kata si Nenek.
Dengan senang hati, Bo menyeberangkan Nenek. “Jangan ragu kalau kau mau ikut perlombaan egrang. Siapa tahu orang yang melarangmu akan berubah menjadi senang akan prestasimu kalau kau menang nanti,” kata Nenek menasihati Bo. Mendengar nasihat Nenek, membuat Bo bersemangat. Dia segera mendaftarkan dirinya.
Dan Bo ternyata meraih juara pertama di perlombaan egrang. Hadiahnya uang yang tidak sedikit jumlahnya! Bo menyerahkan hadiah uangnya pada ketiga kakaknya, yang ternyata ikut menonton. Tapi mereka tidak mau menerimanya.
“Keterlaluan sekali! Kau seharusnya malu sebagai keluarga Tinggi yang dikenal berotak cerdas!” seru Kak Ba. “Menolak belajar dan malah ikut pertandingan konyol yang tidak berotak!” cetus Kak Be. “Kau bukan keluarga kami lagi!” tandas Kak Bu.
Ketiga kakak Bo khusus datang untuk memarahi dan mengusirnya dari rumah. Bo langsung lemas dan sedih. Tiba-tiba, terdengar pengumuman. Telah terjadi kejadian gawat. Daerah di sekitar istana negeri Pinta terkena banjir, dan putera mahkota yang masih kecil terjebak banjir di pulau kecil yang terletak dekat lokasi banjir.
“Kami ingin minta bantuan para atlet egrang. Selamatkan putera mahkota!” kata seorang prajurit istana. Tidak ada atlet egrang yang berani mengajukan diri, kecuali Bo. “Tolong antarkan aku ke lokasi banjir!” seru Bo.
Sampai di lokasi, Bo langsung menggunakan egrangnya untuk menyelamatkan putera mahkota. Semua yang melihat, bersorak gembira ketika Bo berhasil menyeberangkan putera mahkota ke tempat aman.
Bo langsung dibawa kembali ke lokasi lomba. “Bo, jangan lupa, kau belum menerima pialamu! Piala akan diserahkan oleh jenius kebanggaan negeri Pinta, yang merupakan seorang profesor, ilmuwan, dan ahli rancang bangun! Nenek Eda!” kata pembawa acara.
“Nenek!” seru Bo kaget. Ternyata, Nenek yang sering diseberangkan Bo di sungai adalah Nenek Eda. “Selamat, Bo. Hari ini semua orang di negeri Pinta bangga padamu. Salah besar kalau kau tidak cerdas. Kecerdasanmu berbeda dari kecerdasanku dan kakak-kakakmu. Kau cerdas dan terampil dalam menggunakan tubuh. Kecerdasan seorang atlet!” kata Nenek Eda.
Mendengar ini, ketiga kakak Bo menjadi sadar akan kesalahan mereka, dan meminta maaf pada Bo. “Mulai sekarang, kami menanti prestasimu dengan egrang kesayanganmu!” kata ketiga Kakak Bo. “Aku tak akan mengecewakan kalian,” janji Bo, dia sangat bahagia.