Kebun Bambu

  • Cerita: Seruni
  • Ilustrasi: Novi Chrisna
  • Translator: Listya Natalia Manopo
Kamis, 24 Oktober 2024
Kebun Bambu
Kebun Bambu
A A A

Hari ini jemputan sekolah penuh, karena sejak pagi langit mendung. Anak-anak yang biasanya pergi bermain dulu sepulang sekolah, sekarang duduk memenuhi kursi-kursi di mobil jemputan karena takut kehujanan.  

Ada satu anak  membuat suasana jadi seru di dalam mobil jemputan, yaitu Dina. Dina jago olahraga dan punya hobi berkemah. “Sebetulnya, ada juga hobiku yang lain yaitu, ghost hunting!” kata Dina.

Agnes tertegun. Ghost hunting? Berburu hantu? “Memangnya kamu sudah pernah ketemu hantu beneran?” tanya Agnes. “Belum sih, tapi justru itu yang membuat penasaran!” jawab Dina sambil nyengir lebar.

Mobil jemputan mulai masuk ke lingkungan perumahan Agnes dan sekarang berjalan di jalanan yang kanan kirinya tembok tinggi. Tiba-tiba, terdengar suara keras dan anak-anak di dalam mobil terkejut, sebagian menjerit.

Mobil jemputan mengerem mendadak. “Kenapa, Pak?!” tanya Dina pada Pak Supir. “Temboknya tiba-tiba runtuh! Duh, kaget Bapak!” kata Pak Supir menunjuk ke depan  jalan. “Untung saja rubuhnya di depan kita, bukan di samping, nggak kena mobil,” kata Agnes lega.

Anak- anak yang penasaran turun dari mobil, termasuk Dina dan Agnes. Rupanya, di balik tembok tinggi ada kebun bambu. “Itu apa, Dina?” tanya Agnes melihat Dina menyodorkan gadget aneh yang mirip remote TV ke arah pohon-pohon bambu.

“Wah, kuning!” seru Dina antusias sambil melihat ke gadgetnya. Agnes tak sempat bertanya lagi karena Pak Supir meminta mereka semua naik ke mobil dan hujan rintik-rintik turun.

Keesokan harinya di sekolah, Agnes bertemu dengan Dina lagi. Sebelum Agnes bertanya soal gadget aneh yang dibawa Dina kemarin, Dina langsung menjelaskannya sendiri.

“Alat yang kubawa kemarin itu namanya Detektor Lapangan Magnetik. Alat ini bisa mendeteksi hantu. Di alat itu ada 5 lampu. Lampu hijau berarti daerah itu aman, dan kalau lampu kuning dan merah menyala, berarti ada hantu! Dan kemarin di kebun bambu yang rubuh temboknya, alat ini menyala kuning!” jelas Dina.

Akhirnya, Dina minta diantarkan ke kebun bambu oleh Agnes. “Tapi, kalau kamu nggak takut,” kata Dina sambil nyengir. “Takut sih, tapi takutnya sama nyamuk atau ular,” Agnes tertawa, menyetujui permintaan Dina.

Berbekal obat anti nyamuk dan sepatu bot, Agnes dan Dina pergi ke kebun bambu beberapa hari kemudian. Mereka masuk sampai ke daerah dimana pohon bambu tumbuh sangat lebat, dan untuk berjalan agak sulit.

Dina sangat serius, hampir tegang. Agnes ingin tertawa melihat tingkah laku temannya itu. Dia hanya menganggap ini sebagai keisengan, sama sekali tidak menakutkan. “Dina, kamu serius banget sih,” kata Agnes sambil tertawa. Tapi, Agnes  lalu terdiam karena tiba-tiba dia mendengar suara tawa yang jelas dan keras. Asalnya dari sebelah kiri mereka.

Jelas-jelas itu bukan tawa Dina, karena Dina berdiri mematung sambil mengarahkan Detektor Lapangan Magnetiknya ke arah kiri, arah terdengarnya suara tawa. Lampu detektor menyala kuning lalu merah. Dan tepat pada saat itu, Agnes tiba–tiba merasa pusing.

“Aduh!” seru Agnes sambil memegang kepalanya. “Ayo, Agnes!” Dina menggenggam tangan Agnes dan mengajaknya pergi dari situ. Dengan susah payah, akhirnya mereka sampai di luar kebun bambu. Di sana mereka bertemu dengan seorang Bapak tua berwajah ramah.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya si Bapak. “Te..teman saya pusing, Pak..” jawab Dina khawatir. Si Bapak mengibaskan tangannya di depan Agnes dan seketika itu juga pusing Agnes hilang.

“Kebun bambu ini daerah terlarang. Kalian jangan pernah masuk lagi, ya, berbahaya. Nanti mereka marah,” kata si Bapak.

Ternyata, kebun bambu dekat kompleks Agnes tinggal, terkenal angker. Sebetulnya, daerah itu tidak boleh dilewati kendaraan. Entah siapa yang memindahkan tanda dilarang masuk, waktu mobil jemputan sekolah Agnes dan Dina lewat.

Kata Pak Supir yang baru diceritakan temannya, banyak  kendaraan yang terkena sial (mogok atau ban kempes tiba-tiba). Jadi, lama kelamaan jalan yang melewati kebun bambu ditutup.

“Maaf ya, Agnes.. gara-gara aku, kamu jadi pusing...” kata Dina menyesal. “Enggak apa-apa, kamu udah bantuin aku keluar dari kebun bambu, kok,” kata Agnes.

Tapi, setelah pengalaman mereka di kebun bambu, Dina berhenti membicarakan tentang hal yang menyeramkan dan sepertinya berhenti melakukan perburuan.