Kursi Paling Ujung

  • Cerita: Seruni
  • Ilustrasi: Rinaano
  • Translator: Listya Natalia Manopo
Kamis, 11 Juli 2024
Kursi Paling Ujung
Kursi Paling Ujung
A A A

Ana dan Jeni senang sekali karena di dekat tempat tinggal mereka ada stasiun kereta baru sekarang. Stasiun ini menghubungkan kompleks perumahan mereka dengan stasiun kereta yang terletak tak jauh dari sekolah mereka. “Kita nggak perlu naik mobil dan kena macet di jalan!” seru Ana gembira. “Betul sekali!” angguk Jeni.

Hari Senin, Ana dan Jeni bangun pagi-pagi dan dengan semangat pergi ke stasiun. “Aduh saking semangatnya, kita lupa kalau kepagian! Kita terbiasa bangun lebih pagi karena naik mobil,” keluh Ana. “Iya, ya...kereta  jauh lebih cepat dari mobil,” kata Jeni.

Karena kereta juga sangat penuh, kedua anak itu memutuskan untuk menunggu saja. Ana dan Jeni melihat-lihat sekeliling mereka dan berjalan pelan-pelan, mencari tempat duduk. 

Akhirnya, mereka menemukan kursi yang kosong di paling ujung peron. Beberapa saat setelah duduk, Ana mengeluarkan bekal rotinya dari dalam tas. Syuut! Ana merasakan hembusan angin keras dari belakang, dan kotak bekal berisi roti, terjatuh dari tangan Ana dan isinya jatuh berserakan.

“Ya ampun, Ana! Hati-hati dong..aduh sayang banget rotinya!” kata Jeni sambil memunguti roti yang terjatuh untuk dibuang. “Ini karena angin! Aku saja kaget,” kata Ana ikut membantu Jeni mengambil roti yang terjatuh. “Angin? Kok aku enggak merasa ada angin?” ucap Jeni bingung.

“Ih, Jeni jangan bercanda, deh!” kata Ana kesal. “Buat apa sih aku bercanda yang nggak lucu?” kata Jeni putus asa. Wajah Jeni bukan wajah orang yang berbohong. Entah kenapa, Ana merasa takut. Setelah itu, kereta mereka datang dan pembicaraan mengenai kejadian aneh itu dihentikan.

Sampai di sekolah, Ana terkejut ketika memperhatikan Jeni. Wajahnya pucat sekali! “Jeni..kamu tidak apa-apa?” tanya Ana. “Nggak tahu..aku lemas dan dadaku sakit..” kata Jeni lirih. Ana  segera membawa Jeni ke ruang UKS. Di sana Jeni beristirahat.

Bu Guru meminta Ana membawakan teh hangat untuk Jeni. Ana yang khawatir dan panik, menabrak ibu kantin dalam perjalanannya. “Lho, kenapa kok kamu panik begitu?” tanya ibu kantin. Ana menceritakan apa yang dialami dia dan Jeni.

“Kamu tenang saja, tunggu disini, Ibu bikinkan teh hangat. Ibu antarkan juga sampai ke ruang UKS ya, kamu panik banget, takutnya malah ada apa-apa,” kata ibu kantin. Ketika ibu kantin masuk ke ruang UKS untuk mengantarkan teh hangat, dia melihat Jeni dan berdiri diam. Lalu dia memandang ke atas Jeni yang berbaring di ranjang UKS.

“Aduh, ini ada yang ikut, bukan sakit,” gumam ibu kantin. Ana bingung tapi dia tidak bisa bertanya, hanya bisa memperhatikan ibu kantin yang menggerakkan tangannya di atas Jeni, seolah menangkap sesuatu. “Kamu pulang ya,” kata ibu kantin. Setelah itu, Jeni membuka matanya yang terpejam, dan berkata kalau keadaannya jauh lebih enak dari sebelumnya.

“Syukurlah, ibu balik ke kantin ya,” kata ibu kantin. Lalu, Ibu Guru masuk ke ruang UKS dan bertanya pada Jeni apakah dia sudah sarapan. “Makan cuma sedikit, Bu,” jawab Jeni. Ibu Guru berpesan kalau Jeni tidak boleh menganggap enteng sarapan pagi. “Karena kamu tidak sarapan dengan benar, makanya jadi lemas,” kata Ibu Guru.

Ana dan Jeni menjadi terkenal di kelas karena kejadian yang dialami mereka. Tapi, bukan karena masuk UKS, tapi karena ibu kantin. Ada teman sekelas Ana dan Jeni yang bilang kalau ibu kantin punya kekuatan khusus.

“Katanya, dulu pernah ada yang kerasukan disini, dan ibu kantin menyembuhkannya! Jeni, kamu pasti mengalami hal itu!” kata si teman sekelas. “Ah, bohong,” kata Jeni tidak percaya. Tapi Ana lalu ingat angin yang menerpanya di kursi paling ujung peron kereta.

Masa sih? Dan ketika menunggu kereta lagi pada suatu hari, Ana tidak  sengaja mendengar percakapan petugas stasiun yang berkata kalau kursi itu aneh. Satu hal yang pasti, Ana tidak akan pernah duduk di sana lagi, dan dia akan meyakinkan Jeni juga.